MENELUSURI PERADABAN AWAL DI KEPULAUAN INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Masa Praaksara ialah suatu masa dimana
mayoritas masyarakat belum mengenal tulisan, serta dalam pengungkapan sejarah
nya masih secara lisan. Ciri-ciri daripada masa ini ialah, belum mengenal
tulisan, pengungkapan sejarah dilakukan secara lisan, dan Masa Praaksara sering
disebut sebagai tradisi lisan.
Dan Masa Praaksara ini sering dikatakan
mendahului tradisi tulis/ Masa Aksara. Jejak sejarah dalam tradisi lisan/ Masa
Praaksara dapat diikuti dalam sumber-sumber sejarah yaitu sbb, Folkor,
Mitos, Legenda, Upacara-upacara Adat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sebelum
Mengenal Tulisan
Dilakukan
melalui tradisi lisan, dimana pengertian tradisi lisan itu sendiri adalah
sebagai berikut.
- Tradisi lisan merupakan tradisi yang
terkait dengan kebiasaan/ adat istiadat, menggunakan bahasa lisan dalam
menyampaikan pengalaman sehari-hari dari seseorang kepada orang lain.
- Tradisi lisan dapat juga diartikan sebagai
penggungkapan lisan dari satu generasi ke generasi yang lain,dst.
- Menurut Kuntowijoyo,tradisi lisan merupakan
sumber sejarah yang merekam masa lampau masyarakat manusia.
Tradisi
sejarah masyarakat sebelum menggenal tulisan merupakan tradisi dalam mewariskan
pengalaman masa lalu serta pengalaman hidup sehari-hari yang terkait dengan
adat istiadat, kepercayaan, nilai moral pada generasi mereka sendiri dan
generasi yang akan datang melalui tradisi lisan, peringatan-peringatan berupa
bangunan serta alat hidup sehari-hari. Tradisi lisan mengandung kejadian-kejadian
sejarah, nilai-nilai moral, keagamaan, adat istiadat, cerita khayalan,
peribahasa, lagu dan mantra, serta petuah leluhur.
Tradisi
lisan ada sejak manusia memiliki kemampuan berkomunikasi meskipun belum
mengenal tulisan tetapi mereka telah mampu merekam pengalaman masa lalunya.
Sebagai
contoh tradisi lisan:
·
Aktivitas bercocok tanam sampai sekarang masih
ada karena diwariskan secara bertahap dan turun temurun dari nenek moyang kita
kepada generasi selanjutnya.
·
Aktivitas membuat gerabah yang mulai dikenal
pada masa bercocok tanam yang semakin berkembang, Bagaimana cara mereka
mewariskan keahliannya?
B.Terbentuknya Kepulauan Indonesia
Paparan sunda ini terpisah oleh naiknya permukaan air laut, mulai dari
20,000 tahun yang lalu sampai sekarang, dengan permukaan air laut yang
naik/turun karena dipengaruhi oleh suhu Bumi dan Glacier, beberapa kali
pulalah Paparan sunda ini terpisah menjadi beberapa pulau, kemudian
menyatu kembali, dan terpisah kembali secara berulang-ulang, sampai kita
lihat pada saat sekarang ini.
Dengan demikian asal usul dari pulau-pulau yang terdapat di Indonesia berbeda-beda. Pulau Papua yang berasal dari craton Australia dahulunya, dan telah terbentuk beberapa juta tahun lalu, sebelum terbentuknya pulau lain di Indonesia.
Dengan demikian asal usul dari pulau-pulau yang terdapat di Indonesia berbeda-beda. Pulau Papua yang berasal dari craton Australia dahulunya, dan telah terbentuk beberapa juta tahun lalu, sebelum terbentuknya pulau lain di Indonesia.
Pulau Sumatra, Jawa dan Borneo yang merupakan bagian dari craton China
Utara, yang kemudian akibat pergerakan kulit bumi membentuk daratan
Asia, dan pada Periode Tertiary, pulau Sumatra, Jawa dan Borneo
terpisah.
Berdasarkan rekonstruksi ini, kita bisa melihat dari mana asal Fauna dan
Flora yang terdapat di Indonesia. sehingga Fauna yang terdapat pad
pulau Sumatra, Jawa dan Borneo memiliki karakter yang sama dengan yang
terdapat di benua Asia, begitu juga denga pulau Papua yang berasal dari
craton Australia.
Sedangkan pulau unik Sulawesi yang terbentuk dari gabungan beberapa daratan Asia, Australia dan beberapa pulau dari Samudara Pasifik, menyebabkan pulau ini memiliki fauna yang unik dan khas.
Menurut para ahli bumi, posisi pulau-pulau di Kepulauan Indonesia terletak di atas tungku api yang bersumber dari magma dalam perut bumi. Inti perut bumi tersebut berupa lava cair bersuhu sangat tinggi. Makin ke dalam tekanan dan suhunya semakin tinggi.
Sedangkan pulau unik Sulawesi yang terbentuk dari gabungan beberapa daratan Asia, Australia dan beberapa pulau dari Samudara Pasifik, menyebabkan pulau ini memiliki fauna yang unik dan khas.
Menurut para ahli bumi, posisi pulau-pulau di Kepulauan Indonesia terletak di atas tungku api yang bersumber dari magma dalam perut bumi. Inti perut bumi tersebut berupa lava cair bersuhu sangat tinggi. Makin ke dalam tekanan dan suhunya semakin tinggi.
Pada suhu yang tinggi itu material-material akan meleleh sehingga
material di bagian dalam bumi selalu berbentuk cairan panas. Suhu tinggi
ini terus menerus bergejolak mempertahankan cairan sejak
jutaan tahun lalu. Ketika ada celah lubang keluar, cairan tersebut keluar berbentuk lava cair.
jutaan tahun lalu. Ketika ada celah lubang keluar, cairan tersebut keluar berbentuk lava cair.
Ketika lava mencapai permukaan bumi, suhu menjadi lebih dingin dari
ribuan derajat menjadi hanya bersuhu normal sekitar 30 derajat. Pada
suhu ini cairan lava akan membeku membentuk batuan beku atau kerak.
Keberadaan kerak benua (daratan) dan kerak samudera selalu bergerak
secara dinamis akibat tekanan magma dari perut bumi. Pergerakan
unsur-unsur geodinamika ini dikenal sebagai kegiatan tektonis.
Sebagian wilayah di Kepulauan Indonesia merupakan titik temu di antara tiga lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia di selatan, Lempeng Eurasia di utara dan Lempeng Pasifik di timur. Pergerakan lempeng-lempeng tersebut dapat berupa subduksi (pergerakan lempeng ke atas), obduksi (pergerakan lempeng ke bawah) dan kolisi (tumbukan lempeng).
Sebagian wilayah di Kepulauan Indonesia merupakan titik temu di antara tiga lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia di selatan, Lempeng Eurasia di utara dan Lempeng Pasifik di timur. Pergerakan lempeng-lempeng tersebut dapat berupa subduksi (pergerakan lempeng ke atas), obduksi (pergerakan lempeng ke bawah) dan kolisi (tumbukan lempeng).
Pergerakan lain dapat berupa pemisahan atau divergensi (tabrakan)
lempeng-lempeng. Pergerakan mendatar berupa pergeseran lempeng-lempeng
tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang. Perbenturan
lempeng-lempeng tersebut menimbulkan dampak yang berbeda-beda. Namun
semuanya telah menyebabkan wilayah Kepulauan Indonesia secara tektonis merupakan wilayah yang sangat aktif dan labil hingga rawan gempa sepanjang waktu.
Pada masa Paleozoikum (masa kehidupan tertua) keadaan geografis Kepulauan Indonesia belum terbentuk seperti sekarang ini. Di kala itu wilayah ini masih merupakan bagian dari samudera yang sangat luas, meliputi hampir seluruh bumi. Pada fase berikutnya, yaitu pada akhir masa Mesozoikum, sekitar 65 juta tahun lalu, kegiatan tektonis itu menjadi sangat aktif menggerakkan lempenglempeng
Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik.
Pada masa Paleozoikum (masa kehidupan tertua) keadaan geografis Kepulauan Indonesia belum terbentuk seperti sekarang ini. Di kala itu wilayah ini masih merupakan bagian dari samudera yang sangat luas, meliputi hampir seluruh bumi. Pada fase berikutnya, yaitu pada akhir masa Mesozoikum, sekitar 65 juta tahun lalu, kegiatan tektonis itu menjadi sangat aktif menggerakkan lempenglempeng
Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik.
Kegiatan ini dikenal sebagai fase tektonis (orogenesa laramy), sehingga
menyebabkan daratan terpecah-pecah. Benua Eurasia menjadi pulau-pulau
yang terpisah satu dengan lainnya. Sebagian di antaranya bergerak ke
selatan membentuk pulau-pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi serta
pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat dan Kepulauan Banda.
Hal yang sama juga terjadi pada Benua Australia. Sebagian pecahannya
bergerak ke utara membentuk pulau-pulau Timor, Kepulauan Nusa Tenggara
Timur dan sebagian Maluku Tenggara. Pergerakan pulau-pulau hasil
pemisahan dari kedua benua tersebut telah mengakibatkan wilayah
pertemuan keduanya sangat labil. Kegiatan tektonis yang sangat aktif dan
kuat menyebabkan terbentuknya Kepulauan Indonesia pada masa Tersier sekitar 65 juta tahun lalu.
Sebagian besar daratan Sumatra, Kalimantan dan Jawa telah tenggelam
menjadi laut dangkal sebagai akibat terjadinya proses kenaikan permukaan
laut atau transgresi. Sulawesi pada masa itu sudah mulai terbentuk,
sementara Papua sudah mulai bergeser ke utara, meski masih didominasi
oleh cekungan sedimentasi laut dangkal berupa paparan dengan
terbentuknya endapan batu gamping.
Pada kala Pliosen sekitar lima juta tahun lalu, terjadi pergerakan
tektonis yang sangat kuat, yang mengakibatkan terjadinya proses
pengangkatan permukaan bumi dan kegiatan vulkanis. Ini pada gilirannya
menimbulkan tumbuhnya (atau mungkin lebih tepat terbentuk) rangkaian
perbukitan struktural seperti perbukitan besar (gunung), dan perbukitan
lipatan serta rangkaian gunung api aktif sepanjang gugusan perbukitan
itu.
Kegiatan tektonis dan vulkanis terus aktif hingga awal masa Pleistosen,
yang dikenal sebagai kegiatan tektonis Plio-Pleistosen. Kegiatan
tektonis ini berlangsung di seluruh Kepulauan Indonesia.
Gunung api aktif dan rangkaian perbukitan struktural tersebar di sepanjang bagian barat Pulau Sumatra, berlanjut ke sepanjang Pulau Jawa ke arah timur hingga Kepulauan Nusa Tenggara serta Kepulauan Banda. Kemudian terus membentang sepanjang Sulawesi Selatan dan Utara.
Gunung api aktif dan rangkaian perbukitan struktural tersebar di sepanjang bagian barat Pulau Sumatra, berlanjut ke sepanjang Pulau Jawa ke arah timur hingga Kepulauan Nusa Tenggara serta Kepulauan Banda. Kemudian terus membentang sepanjang Sulawesi Selatan dan Utara.
Pembentukan daratan yang semakin luas itu merupakan proses terbentuknya Kepulauan Indonesia pada
kedudukan pulau-pulau seperti sekarang ini. Hal itu telah berlangsung
sejak kala Pliosen hingga awal Pleistosen (1,8 juta tahun lalu). Jadi
pulau-pulau di kawasan Kepulauan Indonesia ini masih terus bergerak
secara dinamis, sehingga tidak heran jika masih sering terjadi gempa,
baik vulkanis maupun tektonis.
C. Mengenal Manusia Purba
1.1 Manusia
Purba
Manusia
yang hidup pada zaman praaksara (prasejarah) disebut manusia purba. Tanah air kita sudah dihuni manusia
sejak jutaan tahun yang lalu. Fosil-fosil manusia purba banyak ditemukan di
Indonesia yaitu sejak jutaan tahun yang lalu terutama di Pulau Jawa. Manusia purba adalah manusia penghuni bumi pada zaman
prasejarah yaitu zaman ketika manusia belum mengenal tulisan. Ditemukannya
manusia purba karena adanya fosil dan artefak. Fosil adalah sisa-sisa organisme
(manusia, hewan, dan tumbuhan) yang telah membatu yang tertimbun di dalam tanah
dalam waktu yang sangat lama. Sedangkan
artefak adalah peninggalan masa lampau berupa alat kehidupan/hasil
budaya yang terbuat dari batu, tulang, kayu dan logam. Cara hidup mereka masih sangat sederhana dan masih sangat bergantung
pada alam. Jenis-jenis manusia purba dibedakan dari zamannya yaitu :
- Zaman Palaeolitikum artinya zaman batu tua. Zaman ini ditandai dengan penggunaan perkakas yang bentuknya sangat sederhana dan primitif. Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman ini, yaitu hidup berkelompok; tinggal di sekitar aliran sungai, gua, atau di atas pohon; dan mengandalkan makanan dari alam dengan cara mengumpulkan (food gathering) serta berburu. Maka dari itu, manusia purba selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain (nomaden) belum tahu bercocok tanam. Pada zaman ini alat-alatnya terbuat dari batu yang masih kasar dan belum dihaluskan. Contoh alat-alat tersebut adalah :
·
Kapak
Genggam, banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya disebut
"Chopper" (alat penetak/pemotong)
·
Alat-alat
dari tulang binatang atau tanduk rusa : alat penusuk (belati), ujung tombak
bergerigi
·
Flakes,
yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon, yang dapat digunakan
untuk mengupas makanan. Alat-alat dari tulang dan Flakes, termasuk
hasil kebudayaan Ngandong. Kegunaan alat-alat ini pada umumnya untuk berburu,
menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan. Berdasarkan daerah
penemuannya maka alat-alat kebudayaan Paleolithikum tersebut dapat dikelompokan
menjadi kebudayaan Pacitan dan Ngandong.
2. Zaman Mezolitikum artinya zaman
batu madya (mezo) atau pertengahan. Zaman ini disebut pula zaman "mengumpulkan
makanan (food gathering) tingkat
lanjut", yang dimulai pada akhir zaman es, sekitar 10.000 tahun yang
lampau. Para ahli memperkirakan manusia yang hidup pada zaman ini adalah
bangsa Melanesoide yang merupakan nenek moyang orang Papua, Semang, Aeta,
Sakai, dan Aborigin. Sama dengan zaman palaeolitikum, manusia zaman mezolitikum
mendapatkan makanan dengan cara berburu dan menangkap ikan. Mereka tinggal
di gua-gua di bawah bukit karang (abris
souche roche), tepi pantai, dan ceruk pegunungan. Gua abris souche
roche menyerupai ceruk untuk dapat melindungi diri dari panas dan hujan.
Hasil
peninggalan budaya manusia pada masa itu adalah berupa alat-alat
kesenian yang ditemukan di gua-gua dan coretan (atau lukisan) pada
dinding gua, seperti di
gua Leang-leang, Sulawesi Selatan, yang ditemukan oleh Ny. Heeren Palm
pada
1950. Van Stein Callenfels menemukan alat-alat tajam berupa mata panah,
flakes,
serta batu penggiling di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo, dan Madiun.
Selain
itu, hasil peninggalannya ditemukan di tempat sampah berupa dapur kulit
kerang
dan siput setinggi 7 meter di sepanjang pantai timur Sumatera yang
disebut
kjokkenmoddinger. Peralatan yang ditemukan di tempat itu adalah kapak
genggam
Sumatera, pabble culture, dan alat berburu dari tulang hewan.
- Zaman Neolitikum artinya zaman batu muda. Di Indonesia, zaman Neolitikum dimulai sekitar 1.500 SM. Cara hidup untuk memenuhi kebutuhannya telah mengalami perubahan pesat, dari cara food gathering menjadi food producing, yaitu dengan cara bercocok tanam dan memelihara ternak. Pada masa itu manusia sudah mulai menetap di rumah panggung untuk menghindari bahaya binatang buas.
Manusia
pada masa Neolitikum ini pun telah mulai membuat lumbung-lumbung guna menyimpan
persediaan padi dan gabah. Tradisi menyimpan padi di lumbung ini masih bisa
dilihat di Lebak, Banten. Masyarakat Baduy di sana begitu menghargai padi yang
dianggap pemberian Nyai Sri Pohaci. Mereka tak perlu membeli beras dari pihak
luar karena menjualbelikan padi dilarang secara hukum adat. Mereka rupanya
telah mempraktikkan swasembada pangan sejak zaman nenek moyang. Pada zaman ini,
manusia purba Indonesia telah mengenal dua jenis peralatan, yakni beliung
persegi dan kapak lonjong. Beliung persegi menyebar di Indonesia bagian Barat,
diperkirakan budaya ini disebarkan dari Yunan di Cina Selatan yang berimigrasi
ke Laos dan selanjutnya ke Kepulauan Indonesia. Kapak lonjong tersebar di
Indonesia bagian timur yang didatangkan dari Jepang, kemudian menyebar ke
Taiwan, Filipina, Sulawesi Utara, Maluku, Irian dan kepulauan Melanesia. Contoh
dari kapak persegi adalah yang ditemukan di Bengkulu, terbuat dari batu
kalsedon yang digunakan sebagai benda pelengkap upacara atau bekal kubur.
Sedangkan kapak lonjong yang ditemukan di Klungkung, Bali, terbuat dari batu
agats yang digunakan dalam upacara-upacara terhadap roh leluhur. Selain itu
ditemukan pula sebuah kendi yang dibuat dari tanah liat berasal dari Sumba,
Nusa Tenggara Timur. Kendi ini digunakan sebagai bekal kubur.
- Zaman Megalitikum artinya zaman batu besar. Pada zaman ini manusia sudah mengenal kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme merupakan kepercayaan terhadap roh nenek moyang (leluhur) yang mendiami benda-benda, seperti pohon, batu, sungai, gunung, senjata tajam. Sedangkan dinamisme adalah bentuk kepercayaan bahwa segala sesuatu memiliki kekuatan atau tenaga gaib yang dapat memengaruhi terhadap keberhasilan atau kegagalan dalam kehidupan manusia. Dari hasil peninggalannya, diperkirakan manusia pada Zaman Megalitikum ini sudah mengenal bentuk kepercayaan rohaniah, yaitu dengan cara memperlakukan orang yang meninggal dengan diperlakukan secara baik sebagai bentuk penghormatan.
Adanya
kepercayaan manusia purba terhadap kekuatan alam dan makhluk halus dapat
dilihat dari penemuan bangunan-bangunan kepercayaan primitif. Peninggalan yang
bersifat rohaniah pada era Megalitikum ini ditemukan di Nias, Sumba, Flores,
Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan, dalam bentuk menhir,
dolmen, sarkofagus, kuburan batu, punden berundakundak, serta arca. Menhir
adalah tugu batu sebagai tempat pemujaan; dolmen adalah meja batu untuk menaruh
sesaji; sarkopagus adalah bangunan berbentuk lesung yang menyerupai peti mati;
kuburan batu adalah lempeng batu yang disusun untuk mengubur mayat; punden
berundak adalah bangunan bertingkat-tingkat sebagai tempat pemujaan; sedangkan
arca adalah perwujudan dari subjek pemujaan yang menyerupai manusia atau
hewan.
- Zaman Logam
Pada
zaman Logam orang sudah dapat membuat alat-alat dari logam di samping alat-alat
dari batu. Orang sudah mengenal teknik melebur logam, mencetaknya menjadi
alat-alat yang diinginkan. Teknik pembuatan alat logam ada dua macam, yaitu
dengan cetakan batu yang disebut bivalve dan dengan cetakan tanah liat dan
lilin yang disebut a cire perdue. Periode ini juga disebut masa perundagian
karena dalam masyarakat timbul golongan undagi yang terampil melakukan
pekerjaan tangan. Zaman logam ini dibagi atas:
·
Zaman
Perunggu
Manusia
purba Indonesia hanya mengalami zaman perunggu tanpa melalui zaman tembaga.
Kebudayaan Zaman Perunggu merupakan hasil asimilasi dari antara masyarakat asli
Indonesia (Proto Melayu) dengan bangsa Mongoloid yang membentuk ras Deutero
Melayu (Melayu Muda). Disebut zaman perunggu karena pada masa ini manusianya
telah memiliki kepandaian dalam melebur perunggu. Di kawasan Asia Tenggara,
penggunaan logam dimulai sekitar tahun 3000-2000 SM. Masa penggunaan logam,
perunggu, maupun besi dalam kehidupan manusia purba di Indonesia disebut masa
Perundagian. Alat-alat besi yang banyak ditemukan di Indonesia berupa alat-alat
keperluan sehari-hari, seperti pisau, sabit, mata kapak, pedang, dan mata
tombak.
Pembuatan
alat-alat besi memerlukan teknik dan keterampilan khusus yang hanya mungkin
dimiliki oleh sebagian anggota masyarakat, yakni golongan undagi. Di luar
Indonesia, berdasarkan bukti-bukti arkeologis, sebelum manusia menggunakan
logam besi mereka telah mengenal logam tembaga dan perunggu terlebih dahulu.
Mengolah bijih menjadi logam lebih mudah untuk tembaga dari pada besi.
·
Zaman Besi
Pada
zaman ini orang sudah dapat melebur besi dari bijinya untuk dituang menjadi
alat-alat yang diperlukan. Teknik peleburan besi lebih sulit dari teknik
peleburan tembaga maupun perunggu sebab melebur besi membutuhkan panas yang
sangat tinggi, yaitu ±3500 °C.
Alat-alat
besi yang dihasilkan antara lain: mata kapak bertungkai kayu, mata pisau, mata
sabit, mata pedang, cangkul. Alat-alat tersebut ditemukan di Gunung Kidul
(Yogyakarta), Bogor (Jawa Barat), Besuki dan Punung (Jawa Timur)
1.2 Jenis-Jenis Manusia Purba
Ada beberapa jenis manusia purba
yang ditemukan di wilayah Indonesia adalah sebagai berikut :
2.2.1 Meganthropus Paleojavanicus
Meganthropus paleojavanicus berasal dari kata-kata;
Megan artinya besar, Anthropus artinya manusia, Paleo berarti tua, Javanicus
artinya dari Jawa. Jadi bisa disimpulkan bahwa Meganthropus paleojavanicus
adalah manusia purba bertubuh besar tertua di Jawa. Fosil manusia purba ini
ditemukan di daerah Sangiran, Jawa tengah antara tahun 1936-1941 oleh seorang
peneliti Belanda bernama Von Koeningswald. Fosil tersebut tidak ditemukan dalam
keadaan lengkap, melainkan hanya berupa beberapa bagian tengkorak, rahang
bawah, serta gigi-gigi yang telah lepas. Fosil yang ditemukan di Sangiran ini
diperkirakan telah berumur 1-2 Juta tahun.
Ciri-Ciri Meganthropus paleojavanicus :
Ciri-Ciri Meganthropus paleojavanicus :
·
Mempunyai tonjolan tajam di belakang kepala.
·
Bertulang pipi tebal dengan tonjolan kening yang
mencolok.
·
Tidak mempunyai dagu, sehingga lebih menyerupai
kera.
·
Mempunyai otot kunyah, gigi, dan rahang yang
besar dan kuat.
·
Makanannya berupa daging dan tumbuh-tumbuhan.
2.2.2 Pithecanthropus
Fosil
manusia purba jenis Pithecanthrophus adalah
jenis fosil manusia purba yang paling banyak ditemukan di Indonesia.
Pithecanthropus sendiri berarti manusia kera yang berjalan tegak. Fosil
Pithecanthropus berasal dari Pleistosen lapisan bawah dan tengah. Mereka hidup
dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan Mereka sudah memakan segala, tetapi
makanannya belum dimasak. Terdapat tiga jenis
manusia Pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia, yaitu Pithecanthrophus erectus, Pithecanthropus
mojokertensis, dan Pithecanthropus
soloensis. Berdasarkan pengukuran umur lapisan tanah, fosil
Pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia mempunyai umur yang bervariasi,
yaitu antara 30.000 sampai 1 juta tahun yang lalu.
- Pithecanthropus
erectus, ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1891 di sekitar
lembah sungai Bengawan Solo, Trinil, Jawa Tengah. Mereka hidup sekitar
satu juta sampai satu setengah juta tahun yang lalu. Pithecanthropus Erectus berjalan tegak dengan badan yang tegap dan alat pengunyah yang kuat. Volume otak Pithecanthropus mencapai 900 cc. Volume otak manusia modern lebih dari 1000 cc, sedangkan volume otak kera hanya 600 cc.
(Pithecanthropus erectus)
- Pithecanthropus mojokertensis, disebut juga dengan Pithecanthropus robustus. Fosil manusia purba ini ditemukan oleh Von Koeningswald pada tahun 1936 di Mojokerto, Jawa Timur. Temuan tersebut berupa fosil anak-anak berusia sekitar 5 tahun. Makhluk ini diperkirakan hidup sekitar 2,5 sampai 2,25 juta tahun yang lalu. Pithecanthropus Mojokertensis berbadan tegap, mukanya menonjol ke depan dengan kening yang tebal dan tulang pipi yang kuat.
- Pithecanthropus soloensis, ditemukan di dua tempat terpisah oleh Von Koeningswald dan Oppernoorth di Ngandong dan Sangiran antara tahun 1931-1933. Fosil yang ditemukan berupa tengkorak dan juga tulang kering.
Ciri-ciri Pithecanthropus :
·
Memiliki tinggi tubuh antara 165-180 cm.
·
Badan tegap, namun tidak setegap Meganthrophus.
·
Volume otak berkisar antara 750 – 1350 cc.
·
Tonjolan kening tebal dan melintang sepanjang
pelipis.
·
Hidung lebar dan tidak berdagu.
·
Mempunyai rahang yang kuat dan geraham yang
besar.
·
Makanan berupa tumbuhan dan daging hewan buruan.
2.3 Corak Kehidupan Prasejarah
Indonesia dan Hasil Budayanya
1. Hasil
kebudayaan manusia prasejarah untuk mempertahankan dan memperbaiki pola
hidupnya menghasilkan dua bentuk budaya yaitu :
·
Bentuk budaya yang bersifat Spiritual
·
Bentuk budaya yang bersifat Material
2. Masyarakat
Prasejarah mempunyai kepercayaan pada kekuatan gaib yaitu :
·
Dinamisme, yaitu kepercayaan terhadap
benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib. Misalnya : batu, keris
·
Animisme, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek
moyang mereka yang bersemayam dalam batu-batu besar, gunung, pohon besar. Roh
tersebut dinamakan Hyang.
3. Pola
kehidupan manusia prasejarah adalah :
·
Bersifat Nomaden (hidup berpindah-pindah), yaitu
pola kehidupannya belum menetap dan berkelompok di suatu tempat serta, mata
pencahariannya berburu dan masih mengumpulkan makanan
·
Bersifat Permanen (menetap), yaitu pola
kehidupannya sudah terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat,
mata pencahariannya bercocok tanam. Muali mengenal norma adat, yang bersumber
pada kebiasaan-kebiasaan
4. Sistem
bercocok tanam/pertanian
·
Mereka mulai menggunakan pacul dan bajak sebagai
alat bercocok tanam
·
Menggunakan hewan sapi dan kerbau untuk membajak
sawah
·
Sistem huma untuk menanam padi
·
Belum dikenal sistem pemupukan
5.
Pelayaran
Dalam pelayaran
manusia prasejarah sudah mengenal arah mata angin dan mengetahui posisi bintang
sebagai penentu arah (kompas)
6.
Bahasa
Menurut hasil
penelitian Prof. Dr. H. Kern, bahasa yang digunakan termasuk rumpun bahasa
Austronesia yaitu : bahasa Indonesia, Polinesia, Melanesia, dan Mikronesia.Terjadinya
perbedaan bahasa antar daerah karena pengaruh faktor geografis dan perkembangan
bahasa.
FOOD GATHERING
Ciri zaman ini
adalah :
·
Mata pencaharian berburu dan mengumpulkan
makanan
·
Nomaden, yaitu Hidup berpindah-pindah dan belum
menetap
·
Tempat tinggalnya : gua-gua
·
Alat-alat yang digunakan terbuat dari batu kali
yang masih kasar, tulang dan tanduk rusa
·
Zaman ini hampir bersamaan dengan zaman batu tua
(Palaeolithikum) dan Zaman batu tengah (Mesolithikum)
FOOD PRODUCING
Ciri
zaman ini adalah :
·
Telah mulai menetap
·
Pandai membuat rumah sebagi tempat tinggal
·
Cara menghasilkan makanan dengan bercocok tanam
atau berhuma
·
Mulai terbentuk kelompok-kelompok masyarakat
·
Alat-alat terbuat dari kayu, tanduk, tulang,
bambu ,tanah liat dan batu
·
Alat-alatnya sudah diupam/diasah
·
Zaman bercocok tanam ini bersamaan dengan zaman
Neolithikum (zaman batu muda) dan Zaman Megalithikum (zaman batu besar)
2.4 Homo
Sapiens
Homo
Sapiens merupakan sebuah spesies dari golongan mamalia yang dilengkapi otak
berkemampuan tinggi. Dalam sebuah mitos, manusia seringkali dibandingkan dengan
ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, manusia dijelaskan berdasarkan
penggunaan bahasanya, organisasi mereka dimasyarakat majemuk serta perkembangan
teknologinya, serta berdasarkan kemampuan mereka membentuk sebuah kelompok dan
lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan. Manusia pada dasarnya
adalah makhluk budaya yang harus membudayakan dirinya. Manusia sebagai makhluk
budaya mampu melepaskan diri dari ikatan dorongan nalurinya serta mampu
menguasai alam sekitarnya dengan alat pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini
berbeda dengan binatang sebagai makhluk hidup yang sama-sama makhluk alamiah,
berbeda dengan manusia hewan tidak dapat melepaskan dari ikatan dorongan
nalurinya dan terikat erat oleh alam sekitarnya.
Jenis manusia ini termasuk manusia yang memiliki pikiran
yang cerdas dan bijaksana. Dengan daya pikirnya manusia dapat
berpikir apakah yang sebaiknya dilakukan pada masa sekarang atau masa yang akan
datang berdasar kan pertimbangan masa lalu yang merupakan pengalaman. Pemikiran
yang sifatnya abstrak merupakan salah satu wujud budaya manusia yang kemudian
diikuti wujud budaya lain, berupa tindakan atau perilaku, ataupun kemampuan
mengerjakan suatu tindakan. Manusia purba jenis ini memiliki bentuk tubuh yang
sama dengan manusia sekarang. Dibandingkan manusia purba sebelumnya, homo
sapiens lebih banyak meninggalkan benda – benda berbudaya. Diduga, inilah yang
menjadi nenek moyang bangsa – bangsa di dunia.
Ciri-ciri Homo Sapiens :
§ Tinggi tubuh 130-210 cm
§ berat
badan 30 – 159 kg, dan volume otak 1350 – 1450 cc.
§ Otak lebih berkembang dari pada Meganthropus
dan pithecanthropus.
§ Otot kunyah, gigi, dan rahang sudah
menyusut.
§ Tonjolang kening sudah berkurang dan
sudah berdagu.
§ Mempunyai ciri-ciri ras Mongoloid
dan Austramelanosoid.
2.5 Jenis-Jenis
Homo Sapiens
Homo
Sapiens
adalah jenis manusia purba yang memiliki bentuk tubuh yang sama dengan
manusia sekarang. Mereka telah memiliki sifat seperti manusia sekarang.
Kehidupan mereka sangat sederhana, dan hidupnya mengembara. Jenis kaum Homo Sapiens yang ditemukan di Indonesia ada 2
yaitu:
1.
Homo Soloensis ( Manusia dari
Solo)
Fosil ini ditemukan pada tahun 1931
– 1934 oleh Von Koenigswald dan Wedenreich di desa Ngadong lebah Bengawan Solo.
Fosilnya berupa tengkorak menurut penelitian terrnyata Homo Soloensis
tingkatanya lebih tinggi di banding Pithecanthropus Erektus.
Ciri-ciri homo soloensis :
§ Otak kecilnya lebih besar dari pada
otak kecil Pithecanthropus Erectus.
§ Tengkoraknya lebih besar daripada
Pithecanthropus Erectus.
§ Tonjolan kening agak terputus di
tengah (di atas hidung).
§ Tinggi badan antara 130 – 210 cm
§ Volume otaknya antara 1000 – 1200 cc
§ Otot tengkuk mengalami penyusutan
§ Berdiri tegak dan berjalan lebih
sempurna
2. Homo Wajakensis
Fosil ini ditemukan
pada tahun 1889 oleh Eugene Dobois di desa
Wajak( Tulung Agung) Jawa Timur. Fosil yang ditemukan
berupa tulang tengkorak, rahang atas dan rahang bawah tulang pah dan tulang
kering. Homo Wajakensis golongan homo Sapiens kelompok manusia purba maju
dan terakhir. Dan ini membuktikan bahwa Indonesia sejak 40.000 tahun yang lalu
sudah didiami manusia sejenis Homo Sapiens.
Ciri-ciri
homo wajakensis :
Ø Berbadan tegap
Ø Mukanya
tidak terlalu menonjol ke depan.
Ø Hidung
lebar dan bagian mulutnya menonjol
Ø Tengkoraknya lebih besar dibanding Pithecanthropus.
Ø Dahinya
agak miring dan di atas mata terdapat busur kening yang nyata
Ø Tenggorokannya
sedang, agak lonjong, dan agak bersegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dari
muka ke belakang
Ø Tingginya sekitar 180 cm
Ø Memiliki volume otak kecil, yaitu sekitar
1000-2000
cc dengan rata-rata 1350-1450 cc.
Ø Tinggi
badang antara 130-210 cm, berat badan antara 30-150 kg.
Ø Hidup antara 25.000-40.000 tahun
yang lalu
Ø Mampu
membuat alat-alat dari batu dan tulang yang masih sederhana.
2.6 Kebudayaan
Homo Sapiens
Hasil
kebudayaan Homo sapiens adalah perkakas yang terbuat dari batu dan zaman
manusia mempergunakan perkakas dari batu disebut Zaman Batu. Zaman batu terbagi
dua tahap, yaitu: Zaman Batu Tua (paleolithikum) dan Zaman Batu Baru
(Neolithikum).
Zaman batu tua
berlangsung antara 300 ribu tahun sebelum masehi sampai 35 ribu tahun sebelum
masehi, yaitu dalam masa 2.650 abad lamanya. Meskipun manusia yang hidup dan
berkebudayaan Batu Tua dan berkembang dalam masa 2.650 abad itu, kebudayaannya
masih rendah, akan tetapi mereka termasuk dalam jenis Homo Sapiens (manusia
berbudaya) untuk membedakan dari makhluk-makhluk masa sebelumnya.
Zaman batu baru. Secara
perlahan-lahan dalam waktu yang lama kebudayaan homo sapiens berangsur-angsur
meningkat. Homo sapiens dapat membelah dan mengasah batu, kemudian membentuk
batu itu menjadi perkakas disesuaikan dengan keperluannya, seperti kapak, ujung
tombak, mata panah dan lain sebagainya. Secara perlahan-lahan pula kebudayaan
Batu Baru menyebar ke daerah-daerah yang beriklim hangat di dunia.
D. Asal Usul Pesebaran Nenek Moyang
Indonesia termasuk salah satu negara
tempat ditemukannya manusia purba. Penemuan manusia purba di Indonesia dapat
dilakukan berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan. Fosil adalah tulang
belulang, baik binatang maupun manusia, yang hidup pada zaman purba yang
usianya sekitar ratusan atau ribuan tahun. Adapun untuk mengetahui bagaimana
kehidupan manusia purba pada
saat itu, yaitu dengan cara mempelajari benda-benda peninggalannya yang biasa
disebut dengan artefak.
Manusia
purba yang ditemukan di Indonesia memiliki usia yang sudah tua, hampir
sama
dengan manusia purba yang ditemukan di negara-negara lainnya di dunia. Bahkan
Indonesia
dapat dikatakan mewakili penemuan manusia purba di daratan Asia. Daerah
penemuan
manusia purba di Indonesia tersebar di beberapa tempat, khususnya di Jawa.
Penemuan
fosil manusia purba di Indonesia terdapat pada lapisan pleistosen. Salah
satu
jenis
manusia purba yang ditemukan di Indonesia hampir memiliki kesamaan dengan yang
ditemukan
di Peking Cina, yaitu jenis Pithecanthropus Erectus.
Penelitian
tentang manusia purba di Indonesia telah lama dilakukan. Sekitar abad ke-19
para sarjana dari luar meneliti manusia purba di Indonesia. Sarjana pertama
yang meneliti manusia purba di Indonesia ialah Eugene Dubois seorang
dokter dari Belanda. Dia pertama kali mengadakan penelitian di gua-gua di
Sumatera Barat. Dalam penyelidikan ini, ia tidak menemukan kerangka manusia.
Kemudian dia mengalihkan penelitiannya di Pulau Jawa. Pada tahun 1890, E.
Dubois menemukan fosil yang ia beri nama Pithecanthropus Erectus di
dekat Trinil, sebuah desa di Pinggir Bengawan Solo, tak jauh dari Ngawi
(Madiun). E. Dubois pertama-tama menemukan sebagian rahang. Kemudian pada tahun
berikutnya kira-kira 40 km dari tempat penemuan pertama, ditemukan sebuah
geraham dan bagian atas tengkorak. Pada tahun 1892, beberapa meter dari situ
ditemukan sebuah geraham lagi dan sebuah tulang paha kiri.
Untuk
membedakan apakah fosil itu, fosil manusia atau kera, E.Dubois memperkirakan
isi atau volume otaknya. Volume otak dari fosil yang ditemukan itu,
diperkirakan 900 cc. Manusia biasa memiliki volume otak lebih dari 1000 cc,
sedangkan jenis kera yang tertinggi hanya 600 cc. Jadi, fosil yang ditemukan di
Trinil merupakan makhluk di antara manusia dan kera. Bentuk fisik dari makhluk
itu ada yang sebagian menyerupai kera, dan ada yang menyerupai manusia. Oleh
karena bentuk yang demikian, maka E. Dubois memberi nama Pithecanthropus
Erectus artinya manusia-kera yang berjalan tegak (pithekos = kera, anthropus
= manusia, erectus = berjalan tegak). Jika makhluk ini kera, tentu
lebih tinggi tingkatnya dari jenis kera, dan jika makhluk ini manusia harus
diakui bahwa tingkatnya lebih rendah dari manusia (Homo Sapiens).
Sebelum
menemukan fosil tempurung kepala (cranium) dan tulang paha tengah (femur),
Dubois memulai pencariannya dengan berlandaskan pada tiga teori. Ketiga dasar
teori tersebut selain digunakan
sebagai acuan akademik sekaligus untuk meyakinkan pemerintah kolonial Belanda,
bahwa pencarian missing link dalam mempelajari evolusi manusia penting
bagi
perkembangan
ilmu pengetahuan. Ingat! Pada masa itu Indonesia masih berada dalam kekuasaan
pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Perhatikanlah
tiga landasan teori yang dikemukakan oleh Dubois. Pertama, seperti
halnya dengan Darwin, Dubois percaya bahwa evolusi manusia berasal dari daerah
tropika. Hal ini berkaitan dengan berkurangnya rambut pada tubuh manusia purba
yang hanya dapat ditoleransi di daerah tropika yang hangat. Kedua,
Dubois mencatat bahwa dalam dunia binatang, pada umumnya mereka tinggal di
daerah geografi yang sama dengan asal nenek moyangnya. Dari segi biologi,
binatang yang paling mirip dengan manusia ialah kera besar. Sehingga nenek
moyang kera besar diduga mempunyai hubungan kekerabatan (kinship) yang
dekat dengan manusia. Charles Darwin dalam bukunya The Descent of Man (1871)
mengatakan, manusia lebih dekat dengan kera besar di Afrika seperti gorila dan
simpanse. Dalam hal ini Dubois berbeda dengan Darwin, ia percaya bahwa Asia
Tenggara merupakan asal-usul manusia karena di sana ada orangutan dan siamang.
Menurut Dubois, juga didukung oleh beberapa ahli seperti Wallace dan Lyell,
orangutan dan siamang lebih dekat hubungannya dengan manusia dibanding
gorila
dan
simpanse. Alasan ketiga, Dubois mengikuti perkembangan penemuan fosil
rahang atas dari sejenis kera seperti manusia yang ditemukan di Bukit Siwalik,
India pada tahun 1878. Kalau di India ditemukan fosil semacam itu, maka terbuka
kemungkinan penemuan fosil selanjutnya di Jawa.
Berlandaskan
ketiga dasar teori tersebut dan setelah mendapat dukungan dari pemerintah
Hindia Belanda, maka Dubois memulai usaha pencariannya. Keberhasilan kedua
adalah ditemukannya fosil “java man” atau Pithecanthropus Erectus, sekarang
lebih dikenal dengan nama Homo Erectus di Trinil (Jawa Timur). Saat ini Homo
Erectus dipercaya merupakan salah satu kerabat dekat manusia modern (Homo
Sapiens). Berdasarkan analisis para ahli dari Berkeley dengan menggunakan
metode mutakhir argon-40/argon-39 (laser-incremental heating analysis),
diduga umur fosil tersebut sekitar 1 juta tahun. Hasil pengukuran yang
melibatkan tim peneliti dari Indonesia itu, pernah dipublikasi dalam majalah
ilmiah bergengsi Science vol. 263 (1994).
Walau
begitu, ada juga kegagalan Dubois yang dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu
pengetahuan menjadi bermakna. Salah satu kelemahan teori Dubois adalah di missing
link, yang menyebutkan mata rantai keramanusia telah terjawab dengan
ditemukannya “java man”. Pendapat itu keliru karena penemuan-penemuan selanjutnya
fosil manusia purba di Sangiran
(Jawa
Tengah), Mojokerto (Jawa Timur), juga di Cina dan Tanzania ternyata jauh lebih
tua sekitar 500.000 sampai 750.000 tahun dibanding temuannya.
Selain
itu, ada kesalahan teori Dubois mengenai volume otak yang meningkat 2 kali
lipat sebanding dengan peningkatan ukuran tubuh. Menurut Dubois volume otak
fosil “java man” sekitar 700 cc, kurang lebih setengah dari volume otak manusia
modern yang sekitar 1.350 cc. Teori tersebut runtuh karena volume otak “java
man” berdasarkan penghitungan yang
lebih
akurat adalah sekitar 900 cc. Sebagai pembanding pada kera besar yang ada
sekarang, simpanse misalnya, volume otaknya sekitar 400 cc. “Java man” terlalu
pandai untuk mengisi missing link kera-manusia, ia lebih tepat disebut
manusia purba. Penemuan fosil manusia purba yang telah dilakukan oleh Dubois
pada akhirnya mendorong penemuan-penemuan selanjutnya yang dilakukan oleh para
peneliti lainnya. Pada tahun 1907-1908, dilakukan upaya penyelidikan
dan
penggalian yang dipimpin oleh Selenka di daerah Trinil (Jawa Timur). Penggalian
yang dilakukan oleh Selenka memang tidak berhasil menemukan fosil manusia. Akan
tetapi upaya penggaliannya telah berhasil menemukan fosil-fosil hewan dan
tumbuh-tumbuhan yang dapat memberikan dukungan untuk menggambarkan lingkungan
hidup manusia Pithecanthropus.
G.H.R
von Koenigswald mengadakan penelitian dari tahun
1936 sampai 1941 di daerah sepanjang Lembah Sungai Solo. Pada tahun 1936
Koenigswald menemukan fosil tengkorak anak-anak di dekat Mojokerto. Dari gigi
tengkorak tersebut, diperkirakan usia anak tersebut belum melebihi 5 tahun.
Kemungkinan tengkorak tersebut merupakan tengkorak anak dari Pithecanthropus
Erectus, tetapi von Koenigswald menyebutnya Homo Mojokertensis. Pada
tahun-tahun selanjutnya, von Koenigswald banyak menemukan bekas-bekas manusia
prasejarah, di antaranya bekas-bekas Pithecanthropus lainnya. Di samping
itu, banyak pula didapatkan fosil-fosil binatang menyusui. Berdasarkan atas
fauna (dunia hewan), von Koeningswald membagi diluvium Lembah Sungai Solo (pada
umumnya diluvium Indonesia) menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan Jetis (pleistosen
bawah), di atasnya terletak lapisan Trinil (pleistosen tengah) dan
paling atas ialah lapisan Ngandong (pleistosen atas).
Pada
setiap lapisan itu ditemukan jenis manusia purba. Pithecanthropus Erectus penemuan
E. Dubois terdapat pada lapisan Trinil, jadi dalam lapisan pleistosen
tengah. Pithecanthropus lainnya ada yang di pleistosen tengah dan
ada yang di pleistosen bawah. Di plestosen bawah terdapat fosil manusia purba
yang lebih besar dan kuat tubuhnya daripada Pithecanthropus Erectus, dan
dinamakan Pithecanthropus Robustus. Dalam lapisan pleistosen bawah terdapat pula Homo Mojokertensis, kemudian
disebut pula Pithecanthropus Mojokertensis. Jenis Pithecanthropus memiliki
tengkorak yang tonjolan keningnya tebal. Hidungnya lebar dengan tulang
pipi yang kuat dan menonjol. Mereka hidup antara 2 setengah sampai 1
setengah juta tahun yang lalu. Hidupnya dengan memakan tumbuh-tumbuhan
dan hewan. Pithecanthropus masih hidup berburu dan mengumpulkan makanan.
Mereka belum pandai memasak, sehingga makanan dimakan tanpa dimasak
terlebih dahulu. Sebagian mereka masih tinggal di padang terbuka, dan
ada yang tewas dimakan binatang buas. Oleh karenanya, mereka selalu
hidup secara berkelompok. Pada tahun 1941, von Koeningwald di dekat
Sangiran Lembah Sungai Solo juga, menemukan sebagian tulang rahang bawah
yang jauh lebih besar dan kuat dari rahang Pithecanthropus.
Geraham-gerahamnya menunjukkan corak-corak kemanusiaan, tetapi banyak
pula sifat keranya. Tidak ada dagunya. Von Koeningwald menganggap
makhluk ini lebih tua daripada Pithecanthropus. Makhluk ini ia beri nama
Meganthropus Paleojavanicus (mega = besar), karena bentuk tubuhnya yang
lebih besar. Diperkirakan hidup pada 2 juta sampai satu juta tahun yang
lalu. Von Koenigswald dan Wedenreich kembali menemukan sebelas fosil tengkorak
pada tahun 1931-1934 di dekat Desa Ngandong Lembah Bengawan Solo.
Sebagian dari jumlah itu telah hancur, tetapi ada beberapa yang dapat
memberikan informasi bagi penelitiannya. Pada semua tengkorak itu, tidak
ada lagi tulang rahang dan giginya. Von Koeningswald menilai hasil temuannya
ini merupakan fosil dari makhluk yang lebih tinggi tingkatannya daripada
Pithecanthropus Erectus, bahkan sudah dapat dikatakan sebagai manusia.
Makhluk ini oleh von Koeningswald disebut Homo Soloensis (manusia dari
Solo).
Pada
tahun 1899 ditemukan sebuah tengkorak di dekat Wajak sebuah desa yang tak jauh
dari Tulungagung, Kediri. Tengkorak ini ini disebut Homo Wajakensis.
Jenis manusia purba ini tinggi tubuhnya antara 130 – 210 cm, dengan berat badan
kira-kira 30 – 150 kg. Mukanya lebar dengan hidung yang masih lebar, mulutnya
masih menonjol. Dahinya masih menonjol, walaupun tidak seperti Pithecanthropus.
Manusia ini hidup antara 25.000 sampai dengan 40.000 tahun yang lalu. Di
Asia Tenggara juga terdapat jenis ini. Tempat-tempat temuan yang lain ialah di
Serawak (Malaysia Timur), Tabon (Filipina), juga di Cina Selatan. Homo ini
dibandingkan jenis sebelumnya sudah mengalami kemajuan. Mereka telah membuat
alat-alat dari batu maupun
tulang.
Untuk berburu mereka tidak hanya mengejar dan menangkap binatang buruannya.
Makanannya telah dimasak, binatang-binatang buruannya setelah dikuliti lalu
dibakar. Umbian-umbian merupakan jenis makanan dengan cara dimasak. Walaupun
masakannya masih sangat sederhana, tetapi ini menunjukkan adanya kemajuan dalam
cara berpikir mereka dibandingkan dengan jenis manusia purba sebelumnya. Bentuk
tengkorak ini berlainan dengan tengkorak
penduduk
asli bangsa Indonesia, tetapi banyak persamaan dengan tengkorak penduduk asli
benua Australia sekarang. Menurut Dubois, Homo Wajakensis termasuk dalam
golongan bangsa Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis dan
nantinya menurunkan bangsa-bangsa asli di Australia. Menurut von Koenigswald, Homo
Wajakensis seperti juga Homo Solensis berasal dari lapisan bumi
pleistosin atas dan mungkin sekali sudah termasuk jenis Homo Sapiens, yaitu
manusia purba yang sudah sempurna mirip dengan manusia. Mereka telah mengenal
penguburan pada saat meninggal. Berbeda dengan jenis manusia purba sebelumnya,
yang belum mengenal cara penguburan.
Selain
di Indonesia, manusia jenis Pithecanthropus juga ditemukan di belahan
dunia lainnya. Di Asia, Pithecanthropus ditemukan di daerah Cina, di
Cina Selatan ditemukan Pithecanthropus Lautianensis dan di Cina Utara
ditemukan Pithecanthropus Pekinensis. Diperkirakan mereka hidup berturut-turut
sekitar 800.000 – 500.000 tahun yang lalu. Di Benua Afrika, fosil jenis manusia
Pithecanthropus ditemukan di daerah Tanzania, Kenya dan Aljazair.
Sedangkan di Eropa fosil manusia Pithecanthropus ditemukan di Jerman,
Perancis, Yunani, dan Hongaria. Akan tetapi, penemuan fosil manusia Pithecanthropus
yang terbanyak yaitu di daerah Indonesia dan Cina.
Di
Australia Utara ditemukan fosil yang serupa dengan manusia jenis Homo
Wajakensis yang terdapat di Indonesia. Sebuah tengkorak kecil dari seorang
wanita, sebuah rahang bawah, dan sebuah rahang atas dari manusia purba yang
ditemukan di Australia itu sangat mirip dengan manusia Wajak. Apabila
menilik peta Indonesia yang terbentuk pada masa glasial,
memperlihatkan
bahwa pulau Jawa bersatu dengan daratan Asia dan bukan dengan Australia. Oleh
karena itu, diperkirakan manusia Wajak ini bermigrasi ke Australia dengan
menggunakan jembatan penghubung. Diduga mereka telah memiliki keterampilan
untuk membuat perahu serta mengarungi sungai dan lautan, sehingga akhirnya
sampai di daratan Australia.
Setelah
masa penjajahan Belanda selesai, penelitian manusia purba dilanjutkan oleh
orang Indonesia sendiri. Pada tahun 1952 penelitian dimulai. Penelitian ini
terutama dilakukan oleh dokter dan geolog yang kebetulan harus meneliti
lapisan-lapisan tanah. Seorang dokter dari UGM yang mengkhususkan dirinya pada
penyelidikan tersebut adalah Prof. Dr. Teuku Jacob. Dia memulai
penyelidikannya di daerah Sangiran. Penelitian ini kemudian meluas ke Bengawan
Solo.
Berbagai
jenis ras diperkiraan berasal dari asia tengah hal tersebut didasarkan atas
penemuan tulang belulang kuno. Contohnya Papua Melanosoid, Europoid, Mongoloid,
dan Austroloid. Dari percampuran mereka lahirlah bangsa melayu yang menyebar
melalui sungai dan lembah kedaerah pantai dikarenakan adanya wabah
penyakit , ke teluk Tonkin lalu indo cina menyebar ke Kamboja, Muang Thai yang
kemudian menjadi bangsa Austroasia. Yang kemudian mereka munuju kepulaan dan
kemudian menjadi bangsa Austronesia.
Bangsa Thailand Selatan, Singapura, Indonesia, Brunei, dan Philipina Selatan
memiliki kesamaan terhadap bangsa cina di sebelah timur dan bangsa India di
sebelah barat
a.
Penyebaran Manusia dan Bahasa
Austronesia
Bahasa di asia tengah berasal dari keluarga sinn-tibet yang melahirkan bahasa Cina, Siam, Tibet, Miao, Yiu, dan Burma. Penyebaran keselatan melahirkan bahasa Dravida,yaitu Telugu, Tamil, Malayalam, sedangkan penyebaran ke Asia Timur dan Tenggara melahirkan bahasa Austronesia yang menurunkan bahasa Melayu, Melanesia, Mikronesia, Polinesia.
Bahasa di asia tengah berasal dari keluarga sinn-tibet yang melahirkan bahasa Cina, Siam, Tibet, Miao, Yiu, dan Burma. Penyebaran keselatan melahirkan bahasa Dravida,yaitu Telugu, Tamil, Malayalam, sedangkan penyebaran ke Asia Timur dan Tenggara melahirkan bahasa Austronesia yang menurunkan bahasa Melayu, Melanesia, Mikronesia, Polinesia.
Oleh karena itu ada kesamaan istilah ,bahasa,nama
hewan dan tumbuhan,jadi bangsa pendukung bahasa Austronesia itu berasal dari
daerah campa.cochin china,dan kamboja dan daerah di sekitar pantai ,
namun wilayah itu bukanlah penduduk asli.tempat asal mereka berada di
daerah yang jauh lebih tinggi.
b.
Penyebar Pendukung Kapak Persegi
Menurut Kern dan Von Heine Geldern persebaran kapak persegi berasal dari daerah Yunan di Cina Selatan , yaitu di daerah hulu sungai sungai terbesar di Asia Tenggara seperti di sungai Brahmaputra, Irrawaddy, Salwin, Yang-tse-kiang, sungai Mekhong, dan sungai Menam. Dengan melalui lembah sungai itu kebudayaan dan manusia pendukungnya menyebar menuju hilir sungai sehingga sampai ke asia tenggara bagian utara. Disini kebudayaan itu mempunyai cabang kebudayaan kapak bahu. Dalam perkembangnya masing-masing berdiri sendiri dan mempunyai jalan penyebaran yang berbeda. Pendukung kebudayaa kapak persegi yaitu adalah bangsa Austronesia,mempunyai pusat di daerah Tonkin. Karena mereka memiliki kepandaian membuat perahu bercadik, mereka berlayar menggunakan perahu tersebut ke Malaysia barat kemudian ke Sumatra, Jawa, Bali, dan terus ke timur. Sebagian menuju Kalimantan, dari Kalimantan barat laut kebudayaan kapak persegi tersebar ke Philipina , Formosa, dan Jepang .
Menurut Kern dan Von Heine Geldern persebaran kapak persegi berasal dari daerah Yunan di Cina Selatan , yaitu di daerah hulu sungai sungai terbesar di Asia Tenggara seperti di sungai Brahmaputra, Irrawaddy, Salwin, Yang-tse-kiang, sungai Mekhong, dan sungai Menam. Dengan melalui lembah sungai itu kebudayaan dan manusia pendukungnya menyebar menuju hilir sungai sehingga sampai ke asia tenggara bagian utara. Disini kebudayaan itu mempunyai cabang kebudayaan kapak bahu. Dalam perkembangnya masing-masing berdiri sendiri dan mempunyai jalan penyebaran yang berbeda. Pendukung kebudayaa kapak persegi yaitu adalah bangsa Austronesia,mempunyai pusat di daerah Tonkin. Karena mereka memiliki kepandaian membuat perahu bercadik, mereka berlayar menggunakan perahu tersebut ke Malaysia barat kemudian ke Sumatra, Jawa, Bali, dan terus ke timur. Sebagian menuju Kalimantan, dari Kalimantan barat laut kebudayaan kapak persegi tersebar ke Philipina , Formosa, dan Jepang .
c.
Penyebaran Manusia dengan Perahu
Bercadik
Hornell yang mengadakan penyelidikan terhadap jenis-jenis perahu di Nusantara dan negar-negara disekitarnya menyimpulkan bahwa perahu bercadik adalah perahu khas bangsa Indonesia. Di India selatan ada beberapa suku yang menurut corak kebudayaan dan fisiknya banyak menyerupai orang Indonesia. Diantaranya suku terkenal sebagai penyelam mutiara di teluk Manar. Mereka juga menggunakan perahu bercadik, sedangkan suku Shanar kehidupannya terutama dari perkebunan kelapa. Tanaman kelapa tersebut diperkirakan berasal dari Indonesia melalui Srilangka.
d.
Gelombang Kedatangan Penduduk dari
Asia Daratan ke Wilayah Nusantara
Berdasarkan fosil-fosil yang telah
di temukan di wilayah Indonesia dapat diketahui bahwa sejak 2 juta tahun yang
lalu wilayah ini telah di huni. Penhuninya adalah manusia-manusia purba dengan
kebudayaan seperti : meganthropus paleojavanicus, pithecanthropus erectus,
pithecanthropus soloensis dan homo wajakensis. Manusia-manusia purba ini
utamanya homo wajakensis lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal
sebagai penduduk asli Australia, aborigin.Dengan demikian,”penduduk asli Indonesia” adalah kaum negroid atau melanesoid atau astroloid, yang berkulit hitam. Wilayah nusantara kemudian kedatangan bangsa melanesoid yang berasal dari Tonkin, tepatnya dari bacson-hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam, berbadan kecil dan termasuk tipe veddoid-austrolaid. Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah dinusantara belum menjadi kepemilikan siapa pun. Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal untuk hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat yang dilakukannya adalah mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya mencari lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan atau kerang (terbukti dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba diwilayah nusantara di lembah-lembah sungai), walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih mencari di pedalaman. Ketika bangsa Melanesoid datang, mereka mulai menetap, walaupun seminomaden. Jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan mereka akan pindah. Oleh karena itu, mereka memilih daerah yang banyak menghasilkan. Wilayah aliran sungai pula yang akan menjadi targetnya. Alat-alat sederhana seperti: kapak genggam atau choppers, alat-alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus atau febble, kapak pendek dan sebagainya.
Kebudayaan bangsa Melanesoide ini adalah kebudayaan Mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang. Teknologi pertanian juga sudah mereka miliki sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan berpindah-pindah. Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan dengan seminomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke nusantara, selalu di lakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang dating sebelumnya. Dari semua gelombang pendatang dapat di lihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang mulai bahkan telah menetap. Jika kehidupan mereka masih berpindah, maka perpindahan bukanlah sesuatu hal yang aneh. Namun dalam kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk meninggalkan daerah asal bukan tanpa alasan yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap, maka tanah yang mereka butuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup. Mereka sangat membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya masih rendah.
Sekitar tahun 2000SM, bangsa melanesoid yang akhirnya menetap di nusantara kedatangan pula bangsa dan kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun melayu austronosia yakni bangsa melayu tua atau proto melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari daerah yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan.
Orang-orang melayu tua, telah mengenal budaya bercocok tanam yang cukup maju dan bahkan mereka sudah beternak. Dengan demikian mereka telah dapat menghasilkan makanan sendiri (food producing). Kemampuan ini membuat mereka dapat menetap secara lebih permanen. Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis dasar-dasar kebudayaan.Mereka juga mulai membangun satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukimannya. Pengorganisasian ini membuatnya sanggup belajar membuat peralatan rumah tangga dari tanah dan berbagai perlatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya sistem kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan dengan pertanian mereka. Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga, yang menimpa bangsa melayu tua yang sudah mengenal bercocok tanam, berternak, dan menetap. Kembali lagi, daerah subur dengan aliran sungai atau mata air yang menjadi incaran. Namun kedatangan bangsa melayu tua juga memungkinkan terjadinya percampuran darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di nusantara.
Pada tahun 200-300SM, datanglah orang-orang melayu tua yang telah bercampur dengan bangsa aria di daratan yunan. Mereka disebut orang melayu muda atau deutero melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan batu muda yang telah ada karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi.
Kedatangan bangsa melayu muda mengakibatkan bangsa melayu tua yang tadinya
hidup disekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena
kebudayaannya tidak banyak berubah. Dengan menguasai tanah, bangsa melayu muda
dapat berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar
untuk cikal bakal bangsa indonesia sekarang.Dalam kedatangan-kedatangan
tersebut penduduk yang lebih tua menyerap bahasa dan adat para imigran. Jarang
terjadi pemusnahan dan pengusiran bahkan tidak ada penggantian penduduk secara
besar-besaran. Percampuran-percampuran inilah yang menjadi cikal bakal
nusantara yang telah menjadi titik pertemuan dari ras kuning ( mongoloid ) yang
bermigrasi ke selatan dari yunan, ras hitam yang di miliki oleh bangsa
melanesoid.
E. Corak Hidup Masyarakat Pra-aksara
KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA PADA MASA PRA
AKSARACorak kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pra aksara dapat
dikelompokkan menjadi :
1. Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana
Kehidupan masyarakat masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana (zaman paleolitikum) masih sangat sederhana. Mereka hidup sangat tergantung dengan alam dengan cara menumpulkan makanan dan berburu hewan. Kegiatan tersebut dikenal dengan food gathering.
Perkakas yang dihasilkan pada masa ini adalah:
> Chopper ( kapak penetak / kapak genggam / kapak seterika, dinamakan demikian sesuai dengan bentuk dan cara penggunaannya.
> Flakes (serpih bilah) yaitu pecahan batu kecil dan pipih serta tajam yang digunakan sebagai pisau.
> Tulang dan Tanduk Hewan, alat ni digunakan sebagai mata panah, pengorek ubi dan ujung tombak.
Perkakas-perkakas tersebut ditemukan di Pacitan Jawa Timur, Ngandong dan Sangiran (Jawa Tengah)
Kebudayaan rohani yang ditemukan pada masa ini adalah penguburan orang yang telah meninggal, berbeda dengan binatang.
2. Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut
Masa ini disebut juga masa Mesolitikum. Berkembangnya pemikiran manusia menyebabkan peningkatan penggunaan pikiran dab meningkatnya kebutuhan manusia dalam mempertahankan hidupnya. Peningkatan jumlah anggota kelompok dan perpindahan tempat akan menyebabkan permasalahan baru. Perpindahan tempat ( nomaden) dalam rangka berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering) dianggap sudah tidak memadai lagi maka manusia purba mulai membuat tempat tinggal tetap untuk sementara (semi sedenter). Kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan tetap berlangsung, namun kegiatan mengolah lahan tingkat sederhana dan berternak tingkat awal sudah dimulai.
Peninggalan budaya dari masa ini adalah budaya kjokkenmodding yang ditemukan di pantai timur Sumatra dari Langsa (NAD) sampai Medan berupa bukit kerang setinggi 7 meter, dan abris sous roche yang ditemukan di gua di darah Sampung Ponorogo Jawa Timur dan Lamoncong Sulawesi Selatan
Hasil kebudayaan:
Peable (Kapak Sumatra), hachecourte, pipisan batu, flakes, tulang dan tanduk
3. Masa Bercocok Tanam di Sawah
Masa bercocok tanam di sawah juga zaman neolitikum. Pada masa ini terjadi perubahan besar dalam kehidupan manusia atau revolusi dari food gathering menjadi food producing, dari nomaden menjadi menetap. Dengan perubahan tersebut, semua kebutuhan dan perkakas untuk memenuhi kebutuhan juga berubah. Perkakas menjadi lebih halus, manusia sudah mulai memasak, mulai mempercantik diri dengan ditemukan berbagai perhiasan.
Perkakas yang dihasilkan: kapak persegi; kapak lonjong; gerabah/tembikar; barang-barang perhiasan dari batu.
4. Masa Perundagian Logam
Sebagai salah satu dampak kehidupan menetap adalah bahwa manusia mulai semakin berkembang cara berpikirnya, sehingga mulai mampu menemukan cara membuar perkakas dari logam. Penemuan logam mendorong manusia menciptakan perkakas-perkakas untukmkebutuhan sehari-hari. Pengolahan logam memerlukan keahlian khusus, sehingga kemudian berkembang menjadi mata pencaharian untuk kelompok masyarakat tertentu.
Pembuatan perkakas dari logam menggunakan dua teknik, yaitu a cire perdue dan bivalve.
Pembuatan perkakas dengan teknik a cire perdue, caranya dengan membuat model terlebih dahulu dari lilin. Perkakas lilin kemudian dibungkus dengan tanah liat basah yang bagian atas dan bawahnya diberi lubang, selanjutnya dikeringkan dan kemudian dibakar. Pada saat dibakar, lilin melelh dan meninggalkan rongga. Rongga pada tanah liat tadi kemudian diisi dengan cairan logam, dan setelah dingin, tanah liat dipecah maka jadilah perkakas dari logam. teknik ini tidak ekonomis karena hanya menghasilkan satu perkakas dari setiap model. Maka kemudian dikembangkan teknik bivalve, yaitu membuat perkakas dengan cetak masal, yaitu dibuat cetakan batu dengan tutup yang bisa dibuka dan dipakai berulang-ulang.
Perkakas yang dihasilkan pada zaman perundagian: kapak corong; candrasa; nekara; mokko; bejana; dan barang-barang perhiasan dari logam lainnya
5. Masa Batu Besar / Megalithikum
Kebudayaan baru besar atau Megalithikum sebenarnya bukan babakan budaya tersendiri. Kebudayaan ini berkembang seiring dengan perkembangan kebudayaan spiritual / rohani manusia purba. Manusia purba sudah mempercayai bahwa setelah kematian ada kehidupan, meski mereka belum faham benar tentang hal itu. Maka kemudian setiap kematian selalu ditandai dengan menggunakan bangunan batu yang besar.
Perkakas megalitikum:
> Menhir
> Dolmen
> Sarkofagus
> Waruga
> Kubur Batu
> Punden Berundak-undak
1. Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana
Kehidupan masyarakat masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana (zaman paleolitikum) masih sangat sederhana. Mereka hidup sangat tergantung dengan alam dengan cara menumpulkan makanan dan berburu hewan. Kegiatan tersebut dikenal dengan food gathering.
Perkakas yang dihasilkan pada masa ini adalah:
> Chopper ( kapak penetak / kapak genggam / kapak seterika, dinamakan demikian sesuai dengan bentuk dan cara penggunaannya.
> Flakes (serpih bilah) yaitu pecahan batu kecil dan pipih serta tajam yang digunakan sebagai pisau.
> Tulang dan Tanduk Hewan, alat ni digunakan sebagai mata panah, pengorek ubi dan ujung tombak.
Perkakas-perkakas tersebut ditemukan di Pacitan Jawa Timur, Ngandong dan Sangiran (Jawa Tengah)
Kebudayaan rohani yang ditemukan pada masa ini adalah penguburan orang yang telah meninggal, berbeda dengan binatang.
2. Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut
Masa ini disebut juga masa Mesolitikum. Berkembangnya pemikiran manusia menyebabkan peningkatan penggunaan pikiran dab meningkatnya kebutuhan manusia dalam mempertahankan hidupnya. Peningkatan jumlah anggota kelompok dan perpindahan tempat akan menyebabkan permasalahan baru. Perpindahan tempat ( nomaden) dalam rangka berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering) dianggap sudah tidak memadai lagi maka manusia purba mulai membuat tempat tinggal tetap untuk sementara (semi sedenter). Kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan tetap berlangsung, namun kegiatan mengolah lahan tingkat sederhana dan berternak tingkat awal sudah dimulai.
Peninggalan budaya dari masa ini adalah budaya kjokkenmodding yang ditemukan di pantai timur Sumatra dari Langsa (NAD) sampai Medan berupa bukit kerang setinggi 7 meter, dan abris sous roche yang ditemukan di gua di darah Sampung Ponorogo Jawa Timur dan Lamoncong Sulawesi Selatan
Hasil kebudayaan:
Peable (Kapak Sumatra), hachecourte, pipisan batu, flakes, tulang dan tanduk
3. Masa Bercocok Tanam di Sawah
Masa bercocok tanam di sawah juga zaman neolitikum. Pada masa ini terjadi perubahan besar dalam kehidupan manusia atau revolusi dari food gathering menjadi food producing, dari nomaden menjadi menetap. Dengan perubahan tersebut, semua kebutuhan dan perkakas untuk memenuhi kebutuhan juga berubah. Perkakas menjadi lebih halus, manusia sudah mulai memasak, mulai mempercantik diri dengan ditemukan berbagai perhiasan.
Perkakas yang dihasilkan: kapak persegi; kapak lonjong; gerabah/tembikar; barang-barang perhiasan dari batu.
4. Masa Perundagian Logam
Sebagai salah satu dampak kehidupan menetap adalah bahwa manusia mulai semakin berkembang cara berpikirnya, sehingga mulai mampu menemukan cara membuar perkakas dari logam. Penemuan logam mendorong manusia menciptakan perkakas-perkakas untukmkebutuhan sehari-hari. Pengolahan logam memerlukan keahlian khusus, sehingga kemudian berkembang menjadi mata pencaharian untuk kelompok masyarakat tertentu.
Pembuatan perkakas dari logam menggunakan dua teknik, yaitu a cire perdue dan bivalve.
Pembuatan perkakas dengan teknik a cire perdue, caranya dengan membuat model terlebih dahulu dari lilin. Perkakas lilin kemudian dibungkus dengan tanah liat basah yang bagian atas dan bawahnya diberi lubang, selanjutnya dikeringkan dan kemudian dibakar. Pada saat dibakar, lilin melelh dan meninggalkan rongga. Rongga pada tanah liat tadi kemudian diisi dengan cairan logam, dan setelah dingin, tanah liat dipecah maka jadilah perkakas dari logam. teknik ini tidak ekonomis karena hanya menghasilkan satu perkakas dari setiap model. Maka kemudian dikembangkan teknik bivalve, yaitu membuat perkakas dengan cetak masal, yaitu dibuat cetakan batu dengan tutup yang bisa dibuka dan dipakai berulang-ulang.
Perkakas yang dihasilkan pada zaman perundagian: kapak corong; candrasa; nekara; mokko; bejana; dan barang-barang perhiasan dari logam lainnya
5. Masa Batu Besar / Megalithikum
Kebudayaan baru besar atau Megalithikum sebenarnya bukan babakan budaya tersendiri. Kebudayaan ini berkembang seiring dengan perkembangan kebudayaan spiritual / rohani manusia purba. Manusia purba sudah mempercayai bahwa setelah kematian ada kehidupan, meski mereka belum faham benar tentang hal itu. Maka kemudian setiap kematian selalu ditandai dengan menggunakan bangunan batu yang besar.
Perkakas megalitikum:
> Menhir
> Dolmen
> Sarkofagus
> Waruga
> Kubur Batu
> Punden Berundak-undak
F. Perkembangan Teknologi
Pada kehidupan berburu dan
meramu pada tahap awal, penguasaan manusia terhadap teknologi masih sangat
sederhana dan berkaitan erat dengan kebutuhan dasar manusia pada saat itu.
Setelah manusia menetap di goa-goa, mereka mempunyai kesempatan untuk mengembangkan
daya imajinasinya dan keterampilan membuat alat-alat.
Pembuatan alat-alat dari bahan
batu, kayu, maupun tulang-tulang hewan masih sangat sederhana dalam bentuk
maupun cara pembuatannya. Hasil budaya fisik pada saat itu berupa alat-alat
dari batu oleh para ahli dianggap sebagai tahap awal dari manusia menguasai
satu bentuk teknologi sederhana yang disebut teknologi paleolitik. Di
Indonesia, alat-alat yang terbuat dari batu dengan berbagai bentuk itu
dikelompokkan dalam dua tradisi kapak perimbas dan tradisi alat serpih.
Pada tingkat permulaan budaya,
manusia membuat alat-alat yang sangat sederhana dan bahannya dari batu, tulang,
duri ikan, dan kayu. Alat-alat yang terbuat dari bahan kayu sukar ditemukan
bekas-bekasnya karena kayu tidak tahan lama. Alat-alat dari zaman prasejarah
itu mula-mula ditemukan di atas permukaan tanah, sehingga para peneliti tidak
dapat memastikan pada lapisan manakah asal alat-alat tersebut.
Dalam sistem berburu dan
meramu ini diutamakan cara-cara memburu dan menangkap hewan dengan alat-alat
yang diciptakan secara sederhana. Alat- alat perburuan yang memainkan peranan
penting pada masa itu, tetapi tidak dapat ditemukan kembali karena telah
musnah, misalnya gada dari kayu atau tulang, tombak kayu dan jebakan-jebakan
kayu. Cara-cara lain dengan membuat jebakan berupa lubang-lubang atau dengan
cara menggiring hewan buruan ke arah jurang yang terjal. Perburuan biasanya
dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Kelompok
berburu terdiri dari keluarga kecil, yaitu orang laki-laki melakukan perburuan
dan para perempuan mengumpulkan makanan (tumbuh-tumbuhan). Di samping itu, para
perempuan juga memelihara anak-anak. Peranan para perempuan penting sekali
dalam memilih (seleksi) tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan dan membimbing
anak-anak dalam meramu makanan. Setelah ditemukan penggunaan api, maka
perempuan menemukan cara-cara memasak makanan, memperluas pengetahuan tentang
jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan dan cara memasaknya.
Dengan melihat ciri-ciri
tertentu, alat-alat yang terbuat dari batu ini digolongkan menjadi empat, yaitu
kapak perimbas, kapak penetak, pahat genggam, dan kapak genggam awal. Kapak
perimbas mempunyai ciri-ciri antara lain bagian tajamnya berbentuk cembung atau
lurus dengan memangkas satu sisi pinggiran batu dan kulit batu masih melekat
dipermukaan. Kapak penetak mempunyai ciri-ciri ketajamannya dibentuk liku-liku
dengan cara penyerpihan yang dilakukan berselang-seling pada kedua sisi
ketajamannya. Pahat genggam mempunyai ciri-ciri tajamannya berbentuk terjal
mulai dari permukaan atas batu sampai pinggirannya dan dibuat juga dengan cara
penyerpihan. Kapak genggam awal mempunyai ciri-ciri bentuknya meruncing dan
kulit batu masih melekat pada pangkal alatnya serta tajamannya dibentuk melalui
pemangkasan pada satu permukaan batu.
Dari empat jenis utama kapak
itu terdapat jenis-jenis lain dengan bentuk dan variasinya sendiri. Hal itu
terlihat, misalnya jenis kapak perimbas tipe setrika, kura-kura, dan serut
samping di daerah Punung, (Pacitan). Sementara itu, alat-alat serpih yang
paling umum ditemukan mempunyai ciri-ciri kerucut pukulnya menonjol dan dataran
pukulnya lebar dan rata. Ciri-ciri itu digolongkan ke dalam jenis-jenis alat
serpih sederhana. Temuan-temuan alat serpih di Indonesia juga menunjukkan
variasinya, bahkan terdapat beberapa alat serpih yang menunjukkan teknik
pembuatannya yang lebih maju.
Perkakas-perkakas batu yang
digunakan pada masa berburu dan meramu tingkat awal ini ditemukan tersebar
dibeberapa tempat, terutama daerah-daerah yang banyak mengandung bahan batuan
yang cocok untuk pembuatan alat
tersebut. Ini menunjukkan bahwa tradisi kapak perimbas pada masa itu sudah
digunakan hampir di seluruh Indonesia.
Ditemukan dua ribu alat batu
di Kali Baksoko, kabupaten Pacitan, tempat penemuan itu ditentukan sebagai
kompleks kapak perimbas dengan sebutan Budaya pacitan. Semua jenis kapak batu
itu umumnya berbentuk besar dan cara pembuatannya kasar. Kulit batu masih
melekat pada permukaan alat dan tajamannya berliku atau bergerigi. Sementara
itu, satu jenis yang juga penting selain kapak perimbas adalah kapak genggam.
Kapak genggam ini pada umumnya dibuat secara kasar, tetapi terdapat beberapa
kapak yang diserpih secara teliti dan lebih halus berbentuk bulat atau lonjong.
Daerah penyebaran kapak
perimbas ini adalah di daerah Punung, Gombong, jampang kulon, dan Parigi
(jawa). Di Sumatera kapak perimbas ditemukan di daerah Tambangsawah, Lahat, dan
Kalianda. Di Sulawesi kapak ini ditemukan di daerah Cabbenge. Di Bali kapak ini
ditemukan di daerah Sembiran dan Trunyan. Di Sumbawa kapak tersebut ditemukan
di daerah Batutring. Di Flores kapak tersebut ditemukan di daerah wangka, Soa,
Maumere, dan mangeruda, dan di Timor kapak perimbas ditemukan di daerah Atambua
dan Ngoelbaki.
Jenis kapak perimbas ini juga
ditemukan di negara-neara Asia yang lain, seperti Pakistan, Birma, Malaysia,
Cina, Thailand, Filipina dan Vietnam. Ada pula alat-alat serpih yang berukuran
kecil yang diduga digunakan sebagai pisau, gurdi atau penusuk. Dengan alat itu
manusia purba dapat mengupas, memotong dan mungkin juga menggali umbi-umbi.
Kapak genggam Sumatera
atau pebble ditemukan tersebar di pantai
timur Sumatera terutama di daerah Lhok Seumawe, Tamiang, Binjai, di bukit-bukit
kerang di Aceh, dan di Sangiran Jawa Tengah. Bahan-bahan yang digunakan
biasanya dari batu andesit yang dibuat melalui pemangkasan satu sisi atau dua
sisi. Para ahli menganggap bahwa kapak genggam Sumatera ini mengikuti tradisi
pembuatan kapak genggam di daratan Asia.
Dilihat dari cara
pembuatannya, alat-alat batu yang digunakan pada masa berburu dan meramu
tingkat awal digolongkan menjadi dua. Pertama, disebut tradisi batu inti,
pembuatan alat dilakukan dengan cara
pemangkasan segumpal batu atau kerakal untuk memperoleh satu bentuk alat,
misalnya kapak perimbas, kapak genggam, atau kapak penetak. Kedua, disebut
tradisi serpih yaitu alat- alat batu yang dibuat dari serpihan atau
pecahan-pecahan batu.
Alat-alat serpih ini ditemukan
bersama-sama dengan kapak perimbas atau alat-alat batu lainnya dan ditemukan
secara terpisah. Di beberapa tempat seperti Sangiran (Jawa Tengah) atau di
Sagadat (Timor) alat-alat serpih menjadi unsur pokok perkembangan budaya
masyarakat waktu itu.
Tradisi alat-alat serpih yang
berkembang pada masa berburu dan meramu tingkat awal bentuk alat-alatnya masih
sederhana. Pada masa berikutnya, terutama ketika manusia sudah menetap
sementara di goa-goa, tradisi alat serpih menjadi penting dan menjadi perkakas
utama dalam kehidupan sehari- hari. Bentuknya pun beraneka ragam dan teknik
pembuatannya lebih maju dibanding masa sebelumnya. Ketika bahan dasar dari alat
serpih yang berupa batuan obsidian mulai digunakan, alat-alat ini mempunyai
peranan penting bagi kehidupan manusia.
Tradisi alat serpih ini
persebarannya juga luas. Di Jawa misalnya, alat serpih ditemukan di daerah
Punung, Gombong, Jampangkulon, Parigi, Sangiran, dan Ngandong. Sedangkan di
Sumatera, alat serpih hanya ditemukan di daerah Lahat. Di Sulawesi alat serpih
tersebut ditemukan juga di satu daerah Cabbenge. Di Sumbawa alat serpih
tersebut ditemukan di daerah Wangka, Soa, dan Mangeruda. Di Timor alat serpih
tersebut ditemukan di daerah Atambua, Ngoelbaki, Gassi Liu, dan Sagadat.
Pembuatan alat dengan
menggunakan bahan tulang dan tanduk agaknya pada masa berburu dan meramu
tingkat awal ini masih sangat terbatas. Hal itu terlihat dari temuan alat-alat
yang hanya ada di satu tempat, yakni di Ngandong. Alat-alat dari tulang ini
biasanya digunakan untuk sudip atau mata tombak yang berbgerigi di kedua
sisinya. Sedangkan alat-alat dari tanduk menjangan kemungkinan digunakan untuk
mengorek tanah karena di bagian ujung terdapat runcingan. Pembuatan alat dari
tulang dan tanduk ini terus berlanjut ketika manusia sudah menetap di goa-goa.
Bahkan dari beberapa temuan terdapat alat tanduk yang sudah dihaluskan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
Manusia
yang hidup pada zaman praaksara (prasejarah) disebut manusia purba. Manusia
purba adalah manusia penghuni bumi pada zaman prasejarah yaitu zaman ketika
manusia belum mengenal tulisan. Ditemukannya manusia purba karena adanya
fosil dan artefak. Jenis-jenis manusia purba dibedakan dari zamannya yaitu
zaman palaeolitikum, zaman mezolitikum, zaman neolitikum, zaman
megalitikum, zaman logam dibagi menjadi 2 zaman yaitu zaman perunggu dan zaman
besi. Ada beberapa jenis manusia purba yang ditemukan di wilayah Indonesia Meganthropus
Paleojavanicus yaitu manusia purba bertubuh besar tertua di Jawa dan Pithecanthrophus adalah
manusia kera yang berjalan tegak.
Corak
kehidupan prasejarah indonesia dilihat dari segi hasil kebudayaan manusia
prasejarah menghasilkan dua bentuk budaya yaitu : bentuk budaya yang bersifat
spiritual dan bersifat material; segi kepercayaan ada dinamisme dan animisme; pola
kehidupan manusia prasejarah adalah bersifat nomaden (hidup berpindah-pindah
dan bersifat permanen (menetap); sistem bercocok tanam/pertanian; pelayaran;
bahasa; food gathering dan menjadi food producing.
Homo Sapiens
adalah jenis manusia purba yang memiliki bentuk tubuh yang sama dengan
manusia sekarang. Mereka telah memiliki sifat seperti manusia sekarang.
Kehidupan mereka sangat sederhana, dan hidupnya mengembara. Jenis kaum Homo Sapiens yang ditemukan di Indonesia ada 2
yaitu:
1.
Homo Soloensis
2. Homo Wajakensis
Hasil kebudayaan Homo
sapiens adalah perkakas yang terbuat dari batu dan zaman manusia mempergunakan
perkakas dari batu disebut Zaman Batu. Zaman batu terbagi dua tahap, yaitu:
Zaman Batu Tua (paleolithikum) dan Zaman Batu Baru (Neolithikum).
3.2 Saran
3.2.1 Diharapkan agar masyarakat dapat memahami
maksud dari makalah ini dan bisa menambah pengetahuan dan wawasan tentang kehidupan
manusia purba pada zaman dahulu.
3.2.2 Diharapkan bagi penulis lain untuk mencari
referensi yang lebih relevan sebagai bahan dalam pembuatan makalah guna
menciptakan karya tulis yang lebih bermanfaat mengenai kehidupan manusia homo
sapiens pada zaman dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar