A.
PENDAHULUAN
Dari
kitab-kitab suci Weda dapat diketahui perkembangan agama Hindu menurut corak
dan pandangan hidupnya, yang dibedakan menjadi beberapa jaman, yaitu jaman
Weda, jaman Brahmana, jaman Upanisad, dan jaman Tantrayana. Namun pada makalah
ini hanya membahas dua jaman saja, yaitu jaman Brahmana dan jaman
Upanisad.
B.
ZAMAN WEDA (VEDIC PERIOD)
a.
Zaman Brahmana
Brahmana adalah kitab suci yang menguraikan masalah yajna(sesaji)
dan upacara-upacaranya, yang meliputi arti suatuyajna serta tenaga ghaib
apa yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya. Tiap-tiap yajna
ditetapkan dengan cermat sekali menurut peraturan-peraturannya. Penyimpangan
sedikit saja dari peraturan-peraturan itu dapat menyebabkan batal dan tidak
sahnya suatuyajna.
Untuk yajna yang demikian pentingnya dan upacara-upacara
yang begitu rumit, diadakanlah kitab-kitab penuntun, yang disebut Kalpasutra.
Kitab ini ada dua macamnya sesuai dengan adanya dua macam yajna, yaitu:
- Grhyasutra, yang
merupakan penuntun untuk yajna-yajna kecil dalam lingkungan keluarga
- Srautasutra, yang
merupakan penuntun untuk yajna-yajna besar dalam lingkungan raja-raja
dan negara.[1]
Pada zanman ini ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji,
diantaranya yaitu:
1. Kaum pendeta
Pendeta adalah sesepuh agama atau orang yang mengerti dalam suatu
hal yang berbau agama. Dalam agama Hindu pendeta adalah orang yang suci
sekaligus orang yang paling dekat dengan para dewa-dewa.
2. Korban
Pergeseran penting dalam hal korban ialah semakin tingginya nilai
yang diberikan kepada korban tersebut sehingga berhasil atau tidaknya maksud
dan tujuan korban sangat tergantung pada kekuatan yang addidalam korban itu
sendiri, tidak tergantung pada kemurahan dewa tetapi pada kekuatan yang ada
pada arti dan bunyi mantra-mantra dan perbuatan dalam korban tersebut. Dalam
hal ini pemilihan mantra yang tepat akan menjamin keberhasilan dalam hal
persembahan sebuah korban.[2]
Dalam kitab Brahmana dan kitab Weda korban diterangkan secara
panjang lebar. Ada dua macam korban, yaitu:
- Korban besar
Korban
besar ini menggunakan empat macam api suci dan dilakukan oleh para pendeta atas
permintaan orang yang memerlukannya. Korban terpenting dalam korban besar ini disebut
dengansomayajna. Salah satu somayajna ialah korban kuda (Aswameda).
Setiap raja berkeinginan untuk melakukan korban ini karena dianggap sebagai
ujian bagi kekuasaan dan kekuatannya.Dengan korban ini ia akan menjadi seorang Cakrawartin,
raja seluruh alam semesta, pencipta perdamaian, ketentraman dan kesejahteraan.Seperti
halnya dalam agama Weda, korban dalam agama Brahmana ini juga dilakukan oleh
empat orang pendeta yang dibantu oleh pembantu masing-masing. Pendeta adwaryumenyelenggarakan
kurban dengan mengucapkan lafal-lafal yang diambil dari Yajurweda.
Korban besar diuraikan dalam Srautra-Sutra.
- Korban kecil
Korban kecil banyak diuraikan dalam Grhya-Sutra. Korban ini
hanya memerlukan kelengkapan yang sederhana, cukup dengan api suci yang ditaruh
di setiap rumahtangga. Api tersebut dibuat oleh kepala keluarga begitu ia membentuk
rumahtangga. Nityatermasuk korban kecil yang harus dilakukan pada
saat-saat tertentu, seperti permulaan musim baru, bulan muda, bulan purnama,
waktu menyemaikan benih dan waktu permulaan panen, dan kurban untuk para
pitara.Upacara korban tersebut sebenarnya bukan lagi merupakan upacara agama
yang sebenarnya. Korban di sini bukan lagi berpusat pada dewa akan tetapi pada
manusia dan hubungan antara manusia dengan dewa sudah merupakan hubungan yang
bersifat magis saja.
3. Kasta
Agama Brahmana
mengenal adanya kasta-kasta, yaitu kasta Brahmana (pendeta), Ksatria
(pemegang tampuk pemerintah), Waisya(pekerja), dan Sudra (rakyat
biasa). Sebenarnya dalam Rigwedahanya ada dua “varna”saja, yaitu Arya
Varna (kulit kuning) dan Dasyu Varna (kulit hitam).Jumlah kasta itu
sendiri sebenarnya sangat banyak. Menurut Bleeker, sistem ini berpangkal pada
keempat golongan tua dari suku Arya,yaitu dari golongon pendeta Brahmana,
golongan perwira(ksatria),golongan pedagang atau petani (waisya),dan golongan
buruh atau budak (sudra).Di luar keempat kasta ini masih ada lagi suatu kasta
atau golongan yang tidak boleh di dekati atau disentuh, yaitu kasta Paria(outcast).E.A.Gait
mengatakan bahwa pada umumya bangsa Arya tidak suka akan perkawinan antar suku,
tidak suka makan bersama denga suku yang lebih rendah apalagi dengan yang
berkulit hitam. Akan tetapi, akibat peperangan beberapa suku kekurangan istri
sehingga terpaksa kawin dengan orang–orang pribumi. Jelas bahwa anak-anakmereka
iniakan di anggap lebih rendah status sosial mereka. Demikianlah keturunan
kedua telah menimbulkan kelas antara bangsa Arya asli dan bangsa pribumi, yaitu
orang-orang yang berdarah campuran. Perkembangan seperti ini kemudian
menimbulkan adanya prinsip dasar peraturan catur varna (empat kasta)
adalah endogamis. Perpindahan kasta tidak diperbolehkan dan juga tidak mungkin.
Artinya, seorang laki-laki harus hanya kawin dengan wanita dari kasta yang
sama, dan anaknya lahir dalam kasta yang sama dengan orang tuanya.[3]
4. Asrama
Asrama adalah tingkatan hidup. Dalam agama Brahmana disebutkan
adanya empat tingkatan hidup yang harus dilalui setiap orang penganut agama
tersebut. Sebelum memasuki keempat tingkatan tersebut setiap orang harus lebih
dahulu melakukan upacara upanayana, yaitu upacara menjadikan seseorang
anak menjadi “dwija” dan resmi sebagai anggota kasta, serta siap
memasuki tingkatan hidup yang pertama, yaitu kehidupan sebagai Brahmacarin.
Anak tadi akan meninggalkan rumah orang
tunya dan menetap sebagai siswa (sisya)di kediaman seorang guru untuk
mempelajari isi kitab Veda dan pengetahuan keagamaan lainya. Ia harus tunduk
terhadap gurunya dan istri guru, patuh melaksanakan segala perintahnya dan
harus mencari makan sendiri dengan cara minta-minta. Sebagai imbalanya dia akan
menerima pelajaran dari guru terutama tentang Dharma dalam kitab suci. Kalau
sudah selesai, anak segera pulang dan kawin. Mulaiah ia memasuki tingkatan
kedua, Grhasta, yang dimulai dengan perkawinan. Upacara perkawinan
termasuk upacara terpenting yang diselenggarakan di rumah. Selesai melakukan
upacara ini, kedua mempelai melangkah sebanyak tujuh langkah ke timur-laut
sambil diperciki air suci. Sambil memegang tangan istrinya, suami sambil
mengucapkan mantra-mantra kemudian membawa api suci yang harus tetap
dipeliharanya di rumah. Setelah itu mulailah kehidupan sebagai suami-istri. Ia
menjadi kepala keluarga yang bertanggungjawab mendidik anak-anaknya dan
melaksanakan kewajiban terhadap para dewa dengan menjalankan sesaji dan upacara
korban. Ia juga harus melaksanakan kewajibannya yang berhubungan dengan
mayasarakat. Tingkatan ketiga adalah Vanaprastha(kehidupan di hutan,vana=hutan).
Tingkatan ini adalah tingkatan yang harus ditempuh apabila seseorang sudah
mencapai usia lanjut. Segala kewajibanya sebagai kepala keluaraga diserahkan
kepada anak laki-laki. Adakalanya ia masuk hutan bersama istrinya supaya
memberikan ketenangan dan keheningan berfikir dalam upaya mencapai kesempurnaan
hidup. Segala ikatan duniawi harus dilepaskannya untuk sepenuhnya mengabdikan
diri secara keagamaan. Tingkatan terakhir, atau yang keempat, ialah Sanyasin,
yaitu tingkat pertapa yang telah lepas dari kehidupan dunia. Sekalipun ia masih
hidup di dunia ini namun ia sama sekali telah melepaskan diri dari permasalah
dunia sehingga kesempatan untuk mencapai moksa.[4]
5. Dewa-dewa
Bila kita perhatikan perkembangan pemujaan saat ini dewa-dewa dalam
kitab suci Veda, khususnya Indra, Vayu, Aditi dan lain-lain, nampaknya tidak
dipuja lagi. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal ini tidak lain, karena
kedudukan dewa-dewa tersebut di atas, pada zaman kitab-kitab Purana disusun
tidak lagi dipuja karena fungsi dan peranannya digantikan oleh Tiga Devata
Utama, manifestasi-Nya yang kita kenal dengan Tri Murti. Dewa Agni diidentikan
dan digantikan oleh Brahma, Indra dan Vayu diidentikan dan digantikan oleh
Visnu, walaupun dalam kitab suci Veda, Visna adalah nama lain dari Surya dan
Surya sendiri diidentikan dan digantikan fungsi dan peranannya oleh Siva.
Ketiga dewa-dewa ini dengan “parivara devata”-Nya (keluarga dewa-dewa, sakti
atau istrinya, putra-putrinya termasuk pula pengiringnya) mendapat pujaan yang
khusus.
Penggambaran dewa-dewi dalam wujud tertentu, dimaksudkan untuk
lebih mudah membayangkan-Nya, sesuai sifat-sifat yang didambakan oleh umat
kepada-Nya. Selanjutnya disampaikan penggambaran dewa-dewa dalam Veda, di antaranya sebagai berikut:[5]
1. Dyaus
Dewa Dyaus adalah dewa langit. Ia merupakan bapak dari para dewa
dan merupakan dewa tertua dari seluruh dewa dalam Veda maupun Susastra Hindu.
Di dalam mantram Veda dilukiskan sebagai dewa Akasa (langit). Dyaus dikenal
sebagai dewa yang paling berkuasa atas surga. Di dalam mantram pujian (stava)
Dyaus sering dikaitkan dengan Prithivi sehingga terbaca Dyavaprthivi,sebagai
lambang bapak-ibu yang bersifat paternal. Nama Dyaus di dalam Rgveda terbaca
tidak kurang dari 50 kali. Ia digambarkan sebagai: besar, bijaksana dan energik
yang mengajarkan kebajikan kepada penyembahnya. Di dalam berbagai mantra
Rgveda, ia disebut juga sebagai pencipta semua makhluk. Sebagai bapak ia
digambarkan dalam bentuk fisik yang kekar, berewok. Ia disebut Dyaus Pitar yang
berarti bapak Sorga. Dalam bahasa Latin dikenal Yupiter, sedang dalam bahasa
Yunani Kuno disebut Zeuspitar atau Zeupita. Diduga kata Dyaus berasal dari kata
div (memancarkan sinar atau cahaya) yang artinya sama dengan
dewa.
2. Prthivi
Dewi Perthivi adalah dewa bumi, digambarkan seorang wanita yang
sangat ramah dan merupakan dambaan setiap orang. Dewa ini disebut beberapa kali
di dalam kitab Veda (Rgveda). Parthivi artinya yang mempunyai permukaan lebar,
yang dimaksud adalah bumi. Ia dikenal dengan Ibu yang sangat baik. Dalam Pura
ia disebut melahirkan seorang putra yang bernama Bhoma (Neraka), dalam
Ramayana, ia disebut menjelma sebagai Sita. Nama lainya adalah : Vashundari,
Ksitidharani dan lain-lain.
3. Aditi dan Aditiya
Aditi selalu disebut sebagai sorang dewi, Ibu para dewa. Ia disebut
sebagai dewi yang memberi kebahagiaan. Aditi merupakan personifikasi dari Ibu
alam semesta, Hiranyagarbhah dalam Rgveda. Ia disebut maha pengampun,
melenyapkan dosa manusia. Dalam Regveda dinyatakan Aditi lahir dari Daksa,
tetapi versi yang lain menyatakan bahwa Daksa adalah putra dewi Aditi. Versi
yang lainnya menyatakan lagi bahwa Aditi bersaudara dengan Daksa, ibu dari
Vivasit. Aditiya berarti putra Aditi, pada umumnya diartikan sebagai dewa-dewa
yang merupakan satu kelompok. Ia dipersonifikasikan sebagai dewa yang mempunyai
kekuasaan yang paling tinggi sebagai perwujudan dari hukum yang mengatur
peredaran alam semesta. Ia mengatur tata-surya dan mengatur hukum dunia. Ia
bersemayam di langit, di alam yang tertinggi, menguasai seluruh hidup dan
materi sebagai mantra (elemen).
4. Agni (dewa api)
Agni sering disebut dalam Veda, di samping Indra dan Surya. Di
dalam mantram pertama, Sukta pertama dalam Mandala pertama kitab suci Rgveda,
Agni disebut Purohita para devata dan penganugrahkan kemakmuran dan
kebahagiaan. Ia disebut sebagai saksi yang tetap eksis sampai kini dalam setiap
pemujaan umat Hindu. Fungsi Agni sebagai pandita, sebagai duta, sebagai pemberi
berkah, sebagai akhil Veda, penjaga rumah sebagai saksi dan lain sebagainya
menyebabkan Agni tetap dimulyakan.
5. Surya
Surya adalah dewa matahari, ia
dipuja sebagai wajah Agni di angkasa (Rgveda x. 7. 3), matanya Mitra dan
Varuna, sebagai dewanya mata atau maha melihat. Dewa Surya seperti telah
disebutkan di depan adalah putra Aditi dengan Dyaus, Dewi Usas (fajar) adalah
saudaranya perempuan. Savtr sering dihubungkan dengan matahari pagi dan Surya
dihubungkan dengan matahari pada siang hari sampai terbenam. Pengercaan dewa
Surya berwarna merah tembaga, merah dan coklat. Ia sangat kasih, pemurah, melenyapkan
ketakutan, dikelilingi oleh kekuatan hidup, para Rudra, menjadi tempat
perlindungan diseluruh penjuru (NilarudraUpanisad I.9). Dan masih banyak lagi dewa-dewi
dalam Veda di Antaranya: Varuna, Asvin, Usas, Indra, Vayu, Soma,
Visvakarma, Yama, Rudra, Sarasvati, Brahma, Visnu, Siva, Parvati, Durga,
Ganesa, Sri Laksmi.[6]
Dengan uraian-uraian tersebut diatas, maka jelaslah bahwa corak ke
Tuhanan Hinduisme adalah poytheisme yang infinitive (tidak terbatas) di
dalam mana dewa-dewa digambarkan secara fantastis dalam bentuk manusia biasa
atau pun luar biasa, yang dipatungkan.[7]
6. Sutra-sutra
Sutra yang artinya petunjuk.[8]
Kitab Sutra sebagai tafsir dari kitab Brahmana yang terdiri dari 2 macam kitab
sebagai berikut :[9]
a) SrautraSutra:
berisi petunjuk-petunjuk upacara-upacara/ kurban-kurban yang wajib dikerjakan oleh
raja-raja yang dibagi menjadi 3 macam :
- Raja Surya
yaitu upacara dalam pelantikan raja naik tahta.
- Aswameda ialah
kurban kuda yang harus dilakukan sekali setahun, sebagai tanda kebesaran raja
(sabagai maha raja).
- Purushameda
yaitu kurban manusia yang diberikan oleh raja (yang kemudian dihapuskan).
b) Gerha-Sutra
: ialah tata cara/kurban untuk setiap kepala keluarga yang terdiri dari :
- Nitya yaitu
kurban wajib diakukan setiap hari oleh kepala kelurga terhadap roh-roh nenek
moyang (pitana)
- Naimittika
ialah kurban yang hanya dilakukan sekali seumur hidup. Kurban yang demikian ini
ada hubungannya dengan periode hidup manusia (samskara) misalnya pada saat kelahiran,
pemberian nama, makan nasi pertama, memotong rambut pertama dan sebagainya.
- Upanayana ialah
upacara memasuki kasta dengan pemberian Upavita (tali kasta) pada umur 8-12
tahun, setelah itu datanglah upacara perkawinan dan sebagai penutup upacara
ialah upacara kematian yang berupa pembakaran mayat.
b.
Zaman Upanishad
Istilah
Upanishad sendiri berasal dari kata upa, ni dan shad:upani:
dekat, di dekatnya dan shad = duduk. Jadi Upanishad berarti duduk dekat, yaitu
duduk di dekat seorang guru untuk menerima ajaran dan pengetahuan yang lebih
tinggi. Istilah iniselanjutnya menjadi nama agama. Kitab Upanishad berbentuk
dialog antara seorang guru dan muridnya, atau antara seorang Brahmana dengan
Brahmana lainnya. Kitab Upanishad adalah salah satu bagian saja dari
kitab-kitab Aranyaka, yang isinya menekankan pada ajaran rahasia yang bersifat mistik
atau magis.
Kegiatan
keagamaan di jaman Upanisad lebih ditekankan kepada ajaran filsafat tentang
Brahman dan segala ciptaan-Nya. Pandangan yang menonjol di dalam kitab-kitab
Upanisad itu adalah ajaran yang monistis dan absolut, artinya ajaran yang
mengajarkan bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam ini dialirkan dari satu
asas, satu Realitas yang tertinggi.[10]
Lima pokok ajaran pada zaman Upanishad:
1. Brahman
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara pengertian Brahman dalam
Upanishad dengan pengertian kata tersebut dalam agama Brahmana. Mula-mula Brahman
berarti do’a dan kemudian kekuatan goib yang terkandung dalam do’a.[11]
Brahman adalah sumberalam semesta. Brahman adalah pencipta, yang
menjadikan alam semesta ini. Brahman yang transcendent (Nirguna Brahman) yang
berada di luar alam semesta dan jauh di atas alam semesta itu, adalah juga
Brahman yang immanent (Saguna Brahman) yang berada di alam semesta dan di dalam
diri manusia yang disebut Atman.
2. Atman
Atman adalah jiwa individu. Dan Brahman adalah jiwa yang universal.
Atman bukan jasmani, bukan indrawi, bukan kehidupan, bukan pikiran. Atman
adalah jiwa, hakekat terdalam dari jiwa individu itu sendiri.[12]Karena
itu Upanisad mengajarkan: Tat twam asi yang berarti: Itu (Brahman) adalah kamu
(atman). Oleh karena atman setiap orang adalah sama-sama merupakan
percikan-percikan kecil dari Brahman, maka tat twam asi dapat diartikan : saya
adalah kamu.[13]
3. Karma
Upanisad mengajarkan bahwa segala sesuatu tunduk dan takluk
terhadap karma, baik manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Karma meliputi
kehidupan dahulu, sekarang dan yang akan datang. Karma berarti kehidupan atau
perbuatan berikutnya sebagai akibat dari
perbuatan sebelumnya.
Hubungan antara ajaran karma dengan ajaran tentang penjelmaan atau
perpindahan jiwa merupakan hal yang penting dalam ajaran Upanisad. Vamedawa
telah mengembangkan ajaran ini. Manusia harus menanggung akibat perbuatan atau
karmanya. Setelah ia mati pengetahuan dan amal perbuatannya akan membimbing
dia.
4. Reinkarnasi
Reinkarnasi
adalah kelahiran kembali.[14] Reinkarnasi
adalah perputaran kalahiran
kembali.[15]
Hanya manusia yang telah mencapai atman
yang mulia dan yang tahu akan maya saja yang dapat mengatasi hukum karma
dan mencapai moksa.
5. Moksa
Moksa adalah pencerahan dan keterlepasan dari keterbatasan.[16]
Moksa yaitu kelepasan, dan sadar bahwa segala sesuatu adalah satu. Ia akan
mencapai kesatuan dengan Brahman, dan berhak disebut sebagai jiwanmukta.[17]
C.
KESIMPULAN
Bahwasanya pada
jaman Brahmana itu memuat atau menguraikan tentang masalah sesaji kepada
dewa-dewa dan upacara-upacaranya, serta berkaitan dengan tenaga gaib yang
tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya, sedangkan pada jaman Upanisad hanya
memuat berbagai ajaran yang membahas
tentang ajaran ketuhanan (Bramawidya) yang merupakan dasar kehidupan beragama
Hindu. Dan lebih ditekankan kepada ajaran filsafat tentang Brahman dan segala
citaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar